Friday, December 9, 2016

Catatan Flesi

Chapter 1
- Berpapasan - 


Namaku Raflesia Annora. Lebih sering dipanggil Flesi daripada Rafles atau bahkan Annora. Usiaku 27 tahun dan aku tidak malu mengungkapkan hal itu karena umur adalah anugerah dari Tuhan. Bagiku setiap pagi adalah misteri. Cerita tetang seluk beluk hidup yang tak seorangpun tau akan seperti apa dimasa mendatang. Ibarat kepongpong yang tak bisa dipastikan menjadi kupu-kupu. Karena hidup butuh perjuangan yang kasar untuk bertahan didalamnya. Begitupun larva dalam kepopong tak hanya diam menunggu dirinya membusuk, melainkan berusaha melakukan apa yang ia bisa untuk menghasilkan hal terindah dalam hidupnya.

Pagi ini seperti biasa aku meniti tangga menuju jembatan penyebrangan. Rutinitas kerja keseharian yang sebenarnya teramat membosankan. Tapi inilah formalitas. Seperti biasa pula pemandangan pagi selalu membuat kesan yang menarik dibenakku. Hilir mudik kendaraan, antrian bis kota, para penjual menu sarapan, dan orang-orang kantor yang terlihat tergesa-gesa. Aku nyaris selalu menikmati detik demi detik apa yang kulalui. Kadang pemandangan yang sama terulang di hari berikutnya. Kadang juga subjek-subjek baru merebut perhatianku. Seperti seseorang berkemeja putih pagi itu. Berambut klimis, celana bahan katun hitam, sepatu pantofel, dasi belang merah maroon, dan tak lupa balpoin silver yang terselip disaku kiri dadanya. Penampilannya sangat terlihat dewasa. Dia baru saja turun dari mobil hitam mewahnya. Tangan kirinya menenteng sebuah tas kerja berwarna coklat tua. Tangan kananya menggenggam smartphone berlogo apel yang digigit dengan chasing warna gold. Orang-orang akan bilang kalau yang seperti inilah yang dinamakan “ keren ”. Sedangkan aku? Jauh daripada apa yang bisa dipikirkan. Tentu saja akupun keren dengan kesederhanaanku. Lagipula aku tidak peduli dengan indikator keren yang diagung-agungkan setiap orang di zaman ini.

Berpapasan dengan orang berkemeja putih tak memaksaku untuk mengumbar senyum sedikitpun. Setiap detik langkah-langkahnya hanya membuatku alergi dan leherku kaku untuk berpaling dari jalanan. Tapi siapa kira justru dia yang menengok-ku ketika kita tepat berpapasan. Sudut mataku yang memicing tetap bisa menangkap sosok yang melirikku dari samping. Kesal yang ada membuat batinku berguman “apa hak-mu untuk meliriku dari samping”. Aku berusaha tak terlalu memikirkannya dan tetap tertuju pada jalanku. Tapi rasa penasaran memang sebuah penyakit yang susah di hilangkan. Andaikan ada obatnya, mungkin aku akan membelinya setiap hari. Rasa penasaran inilah yang selalu menjebakku. Setelah sekitar 5 langkah dari persimpangan tadi, aku berpaling dan melihat sosoknya ke belakang. Dan saat itu pula dia melakukan hal yang sama dengan berpaling melihat ku. Tatapan kita saling bertemu dan membisu. Aku bahkan tak punya kata-kata dalam pikiranku. Kikuk. Semua terjadi karena reflex dan penyakit penasaran ini. Setelah itu kita sama-sama melanjutkan tuntutan hidup kita masing-masing, melanjutkan perjalanan yang berlawanan arah.

Sekuel dipagi hari biasanya merupakan untaian yang teramat singkat. Aku nyaris tak menghabiskan 10 menit untuk bisa sampai ditempat kerja, terkadang aku berharap mendapatkan klise-klise yang panjang saat di perjalanan. Karena hidupku benar-benar terkunci untuk duduk seharian di depan layar monitor. Satu detik, satu menit, satu jam, tak kulewatkan untuk selalu melihat jam dinding itu. Berharap secepatnya tiba pada jam pulang. Karena aku benar-benar tak menikmati keseharian yang seperti ini kalau bukan untuk profesionalitas.

Jam berdering waktu istirahat makan siang. Aku segera menuju antrian lift turun untuk berada di lantai dasar. Di sebelah kanan belakang gedung terdapat cafetaria dengan berbagai pilihan menu makan siang. Aku berkeliling dan mendapati bahwa tak ada pilihan yang kuinginkan disana. Kuputuskan untuk mencari di cafetaria gedung lain disebelah barat. Disana aku melihat sebuah cafe yang menyediakan menu kebab. Bukan sebuah rencana, tapi aku berpikir untuk membeli kebab tersebut untuk menu makan siangku. Kulangkahkan kakiku menuju cafe tersebut. Tidak ada antrian sama sekali. Bahkan kulihat hanya ada satu orang pelanggan. Tapi aku merasakan sedikit kekakuan ketika berdiri di depan cafe tersebut. Aku melihat seseorang sedang duduk disana. Menyantap kebab dengan tak mengalihkan pandangan dari smartphone nya. Aku kenal sosok itu. Oh mungkin bukan kenal, tapi pernah melihatnya, oh atau mungkin bukan melihatnya. Kami hanya berpapasan. Pagi tadi. Di jembatan penyebrangan itu. Si pria berkemeja putih. Aku berbisik bodoh dalam hati. “jadi dia suka kebab?”. Sekejap aku sadar pelayan cafe yang berada di depanku berulang-ulang menanyakan pesanan. Dan aku masih disana berdiri menatap pria itu penasaran. Aku rasa ketidaktanggapanku membuat si pria berkemeja putih itu mengalihkan pandangan dari smartphone nya dan menatap lurus padaku. Seperti ada sinyal yang merambat begitu saja. Aku menjadi salah tingkah dan bergegas untuk memesan kebab pada pelayan cafe yang daritadi sudah bawel menanyakan pesananku. Awalnya aku ingin memakan kebab di cafe tersebut. Tapi entah kenapa mulut ini mengeluarkan kata "di bungkus ya" dan bergegas kembali ke kantor. Mungkin pilihan terbaik untuk menghabiskan kebab ini di meja kerjaku saja. Aku yakin akan makin kaku bila makan kebab di cafe tersebut hanya ada aku dan si pria berkemeja putih itu.

- Berlanjut di Chapter 2 - 


CHAPTER 1

CHAPTER 2


CHAPTER 3

CHAPTER 4

Friday, December 2, 2016

Cinnamon

Chapter 1
Intro

   “Hey gadis bodoh ! apa yang kau lakukan dengan membiarkan burung-burung idiot itu memakan apel di depanmu?! Bukankah untuk mengisi perutmu saja kau kesulitan?! Memang orang bodoh tetaplah akan menjadi orang bodoh!!! hahaha.. ”  tiga orang anak laki-laki itu tidak pernah bosan untuk selalu berkomentar tiap pagi. Aneh rasanya kalau tidak ada ocehan dari mereka setiap kali mereka melihatku. Di depan toko roti, di depan jembatan, di depan rumah, dan dimana-mana ketika kami berpapasan. 

     Perkenalkan namaku adalah Cinnamon, kadang hanya dipanggil cinna.  Tahun ini aku akan genap berumur 16 tahun. Aku rasa ini sungguh hitungan yang cukup besar. Dan sebesar itulah orang-orang tahu kalau aku ini gadis bodoh, seperti yang mereka katakan. Aku tidak pernah sekalipun datang ke sekolah. Aku tidak pernah belajar berbagai pelajaran sekolah seperti anak-anak lain pada umumnya. Dan memang aku tidak akan pernah diberi kesempatan untuk itu. 

    Ini adalah kota Nomelion. Dimana sudah sejak lama kalau dikota ini perbedaan antara orang berada dan yang kurang berada sangatlah kontras. seperti halnya pendidikan. Hanya mereka dari keluarga yang berada dan memenuhi syarat saja yang bisa menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan aku. Dalam kategori mereka aku adalah orang-orang yang kurang berada. Aku tumbuh besar bersama seorang wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Pada awalnya aku memang menganggapnya ibuku sebelum akhirnya dia menceritakan semuanya kalau aku hanyalah anak yang dia temukan di dekat tempat sampah. Orang orang golongan atas percaya kalau kemiskinan adalah sebuah kutukan. Sehingga dengan alasan apapun sebisa mungkin mereka tidak boleh terlalu berhubungan dengan orang miskin. Orang-orang miskin hanya akan membuat sebuah kutukan lebih parah. Orang orang miskin adalah mereka yang terlahir dari kutukan sihir. Itu pikir mereka. Sayangnya aku terlalu suka dengan menganalisis sesuatu. Tuhan tidak memberiku otak tumpul meski tidak diberi kesempatan untuk pergi ke sekolah. Kau tau, kalimat yang kedua itu aku agak setuju. Karena aku percaya dengan adanya sihir. Meskipun aku tidak tahu apakah sihir adalah sesuatu yang baik atau buruk. Dan realitanya sekuat apapun orang-orang berada itu menjauhi orang-orang tak berada, manusia tetap saja akan saling membutuhkan. Naif sekali.

    Antara kenyataan, khayalan, kekeliruan, atau apalah itu namanya. Aku pernah satu kali menangkap basah orang-orang yang sedang mempraktikan sihirnya. Sangat ajaib. Kulihat waktu itu paman Eldior si penjual permen keliling pernah mengubah warna labu yang hijau seketika menjadi orange dengan diam-diam, bibi Elma yang suka menjahitkan pakaian untukku menjatuhkan sebuah apel dari tangkainya hanya dengan mengedipkan mata. Dan yang mengejutkan adalah ibuku pernah berbicara dengan bunga. Mungkin ide untuk berbicara dengan bunga dapat dilakukan semua orang. Bertingkah gila dengan berbicara sendiri di depan bunga. Tapi ini lain. Waktu itu ibuku berbicara dengan setangkai bunga lily. Seperti meminta sesuatu dan bunga lily itu memberikan apa yang ibu mau. Bunga lily menundukan mahkota bunganya dan mengucurkan seperti satu sendok madu atau cairan aneh. Aku yang sedang demam hanya menengok sedikit dari kepura puraan tidurku. Dan setelah itu aku sadar bahwa aku hidup diantara sihir-sihir yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Padahal kalau kupikir, sihir pasti akan bisa merubah hidup seseorang. Tapi nyatanya tidak ada perubahan-perubahan yang terlihat nyata bahkan pembicaraan tentang sihir itu sendiri adalah sebuah ketabuan. Aku sangat tertarik tapi aku tidak pernah berani untuk menanyakannya. Lagipula kejadian-kejadian itu sangat jarang aku temui. Bahkan hanya sekali waktu saja. Pernah aku sengaja memperhatikan ibuku seharian dan semalaman tapi dia tak pernah melakukan sesuatu yang aku pikir ada hubungannya dengan sihir. Atau bahkan berbicara dengan bunga lily untuk yang kedua kalinya.

Monday, April 18, 2016

Ilusi

Ketika pagi ini aku termenung dalam kehampaan, sinar mentari menerobos nakal melalui lubang-lubang kecil dalam gorden dijendelaku. kulirik cahaya kekuningan yang menyentuh pipi kananku. Dan aku begumam apa yang diinginkannya.. 

Sekejap ku teringat betapa mengerikannya bayangan semalam. Jauh berbeda dengan raut raut cahaya pagi ini. Angin hitam mengepul yang membumbung tinggi serta teriakan penuh bimbang memenuhi rongga malam yang tak tersentuh. Semua yang ada disana hanyalah kegelapan yang teramat pedih. Aku sadar sepenuhnya itu adalah ilusi terdalam dari kesadaranku lagi. Seperti kala sebelumnya, mereka berdatangan dengan ilusi yang maha ganas. Raja air, raja api, raja bumi, dan terakhir raja angin. Mereka membuat sekuel yang sangat menarik untuk seonggok kisah ilusi yang menyedot perhatianku. Selalu menunjukan kearoganan, menelan orang-orang yang sedang berjuang untuk melawan takdir, menarik semua yang berlari dengan ketidaktahuannya, menghancurkan segala apa yang tertanam diatas bumi. Tapi selama ini mereka tak pernah menyentuhku dalam ilusiku sendiri. Mereka hanya ingin aku menyaksikan segala kengerian historianya. Mereka hanya ingin menakutiku tanpa menelanku hidup-hidup. Aku selalu menjadi saksi bisu diatas semua flanel flanel gersang itu. Menimbulkan ketakutan yang selalu terbawa dalam lobus lobus realita. Ada apa dengan ini semua.. 

Pernah suatu ketika mereka datang dimalam yang sama. Ilusi malam itu terlihat berlatar belakang petang yang begitu indah dengan warna-warna indigo yang menghiasi seperempat langit. Namun warna itu perlahan tertelan oleh bayangan hitam yang mulai menyelimuti permukaan langit. Samar-samar kudengar lolongan segala jenis binatang liar yang berlari menuruni lereng-lereng gunung. Mereka adalah sosok-sosok penjaga alam yang biasanya tidak pernah menunjukan diri dalam ketentramannya. Kala itu lain. Mereka sadar bahwa alam sedang tak bersahabat. Para raja ingin keluar dari singgasananya yang membosankan. Dan sikap arogannya tak ada ampun untuk siapapun kecuali bagi para yang dikehendakinya untuk menonton segala kegaduhan ini. Aku berdiri tertegun ketika gunung yang memaku bumi itu bergoncang dan memuntahkan segala isinya. Merah, oranye, mengalir menyala-nyala. Orang-orang berlari tak tentu arah. Mencari tempat untuk bersembunyi dari ketakutan itu. Namun langit tak membiarkan satupun dari mereka lolos, hujan meteor sontak menombaki jiwa-jiwa tak berdaya, manusia dan hewan menjadi suatu kesatuan yang tak bisa lagi kupisahkan dari pandangan ini. Mereka hanya ingin lebih lama hidup dan selamat dari amukan para raja. Kulihat dari arah timur, berduyun-duyun pohon tumbang semakin mendekat. Mereka terbawa air yang tumpah dari kedalaman laut. Sebuah pesta para raja yang sepertinya tak ingin tertinggalkan. Dari arah barat gemuruh angin hitam yang membumbung tinggi berloncatan menerbangkan segala yang mereka injak dibumi. Kulihat lima bumbungan angin itu sangat keji dengan kecepatan dan disertai gemuruh halilintar yang memekakan telinga. Aku kini tak lagi terpaku dengan pesta para raja. Aku takut sama seperti yang lain. Dalam kelengahan, seekor harimau Bengali menubruk tubuhku. Aku tersungkur dalam lumpur-lumpur panas yang bercampur dengan api meteor. Harimau itu menatap sayu seakan memita pertolongan. Tapi sedetik kemudian dia dihantam oleh meteor yang begitu panas tepat dikeningnya. Aku berteriak dan berusaha untuk terus menghindari hujan api itu, menarik segala akar-akar dan segala apa yang bisa kuraih untuk meloloskan diri dari angin-angin hitam yang membuat semua orang terlontar. Tapi bumi tak membiarkan akar-akar itu kokoh, ia membelah setiap daratan menjadi kepingan kepingan yang menelan setiap jiwa, menarik setiap kaki yang menginjakan ranjau-ranjau lumpurnya. Menggerakan setiap akar-akar bagai cacing yang ditaburi garam. Nyaris ku tenggelam dalam lumpur yang kelaparan itu. Namun iringan ombak beserta apa yang dibawanya lebih dulu menghempaskanku. Aku merasakan sesaknya hantaman mereka. Apa lagi yang kurang sempurna dari kekelaman ini? 

Yang kurang sempurna adalah bahwa semua pentagram ini hanyalah ilusi semata yang bersarang dalam pikiranku. Terkadang kesempurnaan tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Aku lebih memilih keadaan yang tidak sempurna. Jika harus menerima ilusi ini menjadi nyata.

Tuesday, April 12, 2016

R u s a


Aku berlari, meloncat kesana kemari, menyerudukan tandukku dan terbang membuyarkan tubuhku sendiri. 

Melayang, terbang, dan hinggap diharibaan dedaunan maple. Kusatukan tubuhku kembali membentuk sosok gesit dengan tanduk tanduk yang mencuat, mengakar ke udara dan kembali loncat dengan girang. 

Aku merasa senang dengan sosokku ini. Menjadi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Meskipun takdir sebagai manusia bukan berarti hal yang membosankan. Hanya saja ini lain. Jelas hal seperti ini rasanya berbeda. Aku seorang rusa.

Aku  s e o r a n g  rusa. .

Tunggu, ada yang salah. Aku memiliki ekor. Ya, aku seekor rusa sekarang. Seekor hewan yang biasanya jadi santapan para hewan karnivora. Tepat sekali karena saat ini ada seekor harimau yang sedang menguntitku dari tadi. 

Dia mengejarku berkali kali, meloncat, meraung, mengayunkan cakarnya, dan ketika cakar itu nyaris mengenaiku, saat itu pula kubuyarkan tubuh ini menjadi serpihan debu yang melayang layang diudara. Begitu terjadi berulang-ulang.  Semua tubuhku terpisah menjadi atom atom kecil kecuali jiwaku yang tetap satu dan masih bisa memandang harimau itu entah dengan apa karena mataku sendiripun aku tak dapat merasakannya.

Sepertinya harimau itu kesal karena aku benar-benar mengejeknya. Tapi dia tahu kalau aku tak bisa selamanya menjadi serpihan serpihan yang terpisah. Aku pasti akan menyatukan tubuhku kembali dan menjadi sosok rusa ajaib disalah satu sudut ditempat ini. Dengan begitu ia terus mengamati gundukan serpihan tubuhku yang mulai menyatu disudut sudut rerumputan. Tapi kali ini aku memilih untuk menjadi sosok asliku, serpihan tubuhku membentuk sebuah proporsi tubuh yang sempurna, tinggi semampai dengan kaki, tangan, jari jemari dan jadilah aku. Seorang manusia berambut ikal lengkap dengan kain-kain yang menutup sebagian tubuhku. 

Aku meloncat dengan sisa-sisa tenagaku ke dedahanan pohon ketika harimau itu nyaris menyobek kakiku. Aku berteriak “ sudah cukup hentikan !! aku lelah bermain dengamu” dan harimau itupun berkata dengan suara yang terdengar merangkap dua “ aku juga tidak ingin bermain denganmu rusa. Aku ingin memakanmu! Aku lapar! ” dan pada saat itu harimau itupun perlahan membuyarkan pandanganku ketika samar-samar ia berubah bentuk menjadi sosok dua orang anak laki-laki yang tak berpakaian. Kutaksir mereka seperti anak-anak manusia usia 6 tahunan yang merengek kelaparan. “kita berada dalam wujud yang sama sekarang, apa kalian masih ingin memakanku juga?” aku meringsutkan wajahku pada dedaunan pohon. Aku memang masih bisa melayangkan tubuhku dari dahan kedahan hanya aku tak punya energi untuk membuyar ataupun merubah sosok tubuhku untuk saat ini. Aku meloncati dahan pohon apel yang berbuah ranum dan masih menunggu jawaban mereka. Tapi tatapan mereka kepadaku masih sama. Sama seperti tatapan laparku pada buah buah apel yang merah ini. Kupetik satu apel dan berkata pada mereka “ cobalah apel ini. Aku heran kenapa kalian terlalu haus akan daging. Meskipun aku tak tahu bagaimana rasa daging dari tubuhku ini. Cobalah makan apel ini.. ayo coba..” aku melempar dua buah apel pada mereka dengan gaya bukan seperti memberi makananan dengan bijak tapi lebih seperti melempari mereka berdua dan mengusirnya supaya tidak mengangguku. Aku tahu mereka hanya dua orang anak kecil  yang tak berpakaian dan merengek-rengek, tapi tetap saja aku tak rela kalau mereka harus menggerogoti tubuhku. Beberapa kali kupikirpun tetap hasilnya mengerikan. Mereka berdua menangkap apel yang ku lempar secara bersamaan. Mencoba menggigitnya bergantian dan sesekali terlihat ekspresi berpikir diraut wajah mereka, mengecap rasa baru dilidah yang terbiasa memakan daging. Hampir aku mengira bahwa usahaku memperkenalkan rasa apel akan berhasil ketika sontak saja aku terkaget. Mereka memuntahkan beberapa kunyahan apel yang sudah mereka rasakan. Aku loncat ke dedahanan yang ada di belakangku, karena aku yakin sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku tak mau mereka tiba-tiba berubah kembali menjadi sosok harimau dan memburuku ganas dengan amarah karena telah memberikan rasa apel yang begitu tidak enak. Tapi dugaanku salah. Yang ada di depan mataku adalah pemandangan bahwa dua sosok anak manusia itu bergelimpangan dengan mulut yang berbusa. Ya tuhan, aku telah meracuni mereka.