Monday, April 18, 2016

Ilusi

Ketika pagi ini aku termenung dalam kehampaan, sinar mentari menerobos nakal melalui lubang-lubang kecil dalam gorden dijendelaku. kulirik cahaya kekuningan yang menyentuh pipi kananku. Dan aku begumam apa yang diinginkannya.. 

Sekejap ku teringat betapa mengerikannya bayangan semalam. Jauh berbeda dengan raut raut cahaya pagi ini. Angin hitam mengepul yang membumbung tinggi serta teriakan penuh bimbang memenuhi rongga malam yang tak tersentuh. Semua yang ada disana hanyalah kegelapan yang teramat pedih. Aku sadar sepenuhnya itu adalah ilusi terdalam dari kesadaranku lagi. Seperti kala sebelumnya, mereka berdatangan dengan ilusi yang maha ganas. Raja air, raja api, raja bumi, dan terakhir raja angin. Mereka membuat sekuel yang sangat menarik untuk seonggok kisah ilusi yang menyedot perhatianku. Selalu menunjukan kearoganan, menelan orang-orang yang sedang berjuang untuk melawan takdir, menarik semua yang berlari dengan ketidaktahuannya, menghancurkan segala apa yang tertanam diatas bumi. Tapi selama ini mereka tak pernah menyentuhku dalam ilusiku sendiri. Mereka hanya ingin aku menyaksikan segala kengerian historianya. Mereka hanya ingin menakutiku tanpa menelanku hidup-hidup. Aku selalu menjadi saksi bisu diatas semua flanel flanel gersang itu. Menimbulkan ketakutan yang selalu terbawa dalam lobus lobus realita. Ada apa dengan ini semua.. 

Pernah suatu ketika mereka datang dimalam yang sama. Ilusi malam itu terlihat berlatar belakang petang yang begitu indah dengan warna-warna indigo yang menghiasi seperempat langit. Namun warna itu perlahan tertelan oleh bayangan hitam yang mulai menyelimuti permukaan langit. Samar-samar kudengar lolongan segala jenis binatang liar yang berlari menuruni lereng-lereng gunung. Mereka adalah sosok-sosok penjaga alam yang biasanya tidak pernah menunjukan diri dalam ketentramannya. Kala itu lain. Mereka sadar bahwa alam sedang tak bersahabat. Para raja ingin keluar dari singgasananya yang membosankan. Dan sikap arogannya tak ada ampun untuk siapapun kecuali bagi para yang dikehendakinya untuk menonton segala kegaduhan ini. Aku berdiri tertegun ketika gunung yang memaku bumi itu bergoncang dan memuntahkan segala isinya. Merah, oranye, mengalir menyala-nyala. Orang-orang berlari tak tentu arah. Mencari tempat untuk bersembunyi dari ketakutan itu. Namun langit tak membiarkan satupun dari mereka lolos, hujan meteor sontak menombaki jiwa-jiwa tak berdaya, manusia dan hewan menjadi suatu kesatuan yang tak bisa lagi kupisahkan dari pandangan ini. Mereka hanya ingin lebih lama hidup dan selamat dari amukan para raja. Kulihat dari arah timur, berduyun-duyun pohon tumbang semakin mendekat. Mereka terbawa air yang tumpah dari kedalaman laut. Sebuah pesta para raja yang sepertinya tak ingin tertinggalkan. Dari arah barat gemuruh angin hitam yang membumbung tinggi berloncatan menerbangkan segala yang mereka injak dibumi. Kulihat lima bumbungan angin itu sangat keji dengan kecepatan dan disertai gemuruh halilintar yang memekakan telinga. Aku kini tak lagi terpaku dengan pesta para raja. Aku takut sama seperti yang lain. Dalam kelengahan, seekor harimau Bengali menubruk tubuhku. Aku tersungkur dalam lumpur-lumpur panas yang bercampur dengan api meteor. Harimau itu menatap sayu seakan memita pertolongan. Tapi sedetik kemudian dia dihantam oleh meteor yang begitu panas tepat dikeningnya. Aku berteriak dan berusaha untuk terus menghindari hujan api itu, menarik segala akar-akar dan segala apa yang bisa kuraih untuk meloloskan diri dari angin-angin hitam yang membuat semua orang terlontar. Tapi bumi tak membiarkan akar-akar itu kokoh, ia membelah setiap daratan menjadi kepingan kepingan yang menelan setiap jiwa, menarik setiap kaki yang menginjakan ranjau-ranjau lumpurnya. Menggerakan setiap akar-akar bagai cacing yang ditaburi garam. Nyaris ku tenggelam dalam lumpur yang kelaparan itu. Namun iringan ombak beserta apa yang dibawanya lebih dulu menghempaskanku. Aku merasakan sesaknya hantaman mereka. Apa lagi yang kurang sempurna dari kekelaman ini? 

Yang kurang sempurna adalah bahwa semua pentagram ini hanyalah ilusi semata yang bersarang dalam pikiranku. Terkadang kesempurnaan tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Aku lebih memilih keadaan yang tidak sempurna. Jika harus menerima ilusi ini menjadi nyata.

Tuesday, April 12, 2016

R u s a


Aku berlari, meloncat kesana kemari, menyerudukan tandukku dan terbang membuyarkan tubuhku sendiri. 

Melayang, terbang, dan hinggap diharibaan dedaunan maple. Kusatukan tubuhku kembali membentuk sosok gesit dengan tanduk tanduk yang mencuat, mengakar ke udara dan kembali loncat dengan girang. 

Aku merasa senang dengan sosokku ini. Menjadi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Meskipun takdir sebagai manusia bukan berarti hal yang membosankan. Hanya saja ini lain. Jelas hal seperti ini rasanya berbeda. Aku seorang rusa.

Aku  s e o r a n g  rusa. .

Tunggu, ada yang salah. Aku memiliki ekor. Ya, aku seekor rusa sekarang. Seekor hewan yang biasanya jadi santapan para hewan karnivora. Tepat sekali karena saat ini ada seekor harimau yang sedang menguntitku dari tadi. 

Dia mengejarku berkali kali, meloncat, meraung, mengayunkan cakarnya, dan ketika cakar itu nyaris mengenaiku, saat itu pula kubuyarkan tubuh ini menjadi serpihan debu yang melayang layang diudara. Begitu terjadi berulang-ulang.  Semua tubuhku terpisah menjadi atom atom kecil kecuali jiwaku yang tetap satu dan masih bisa memandang harimau itu entah dengan apa karena mataku sendiripun aku tak dapat merasakannya.

Sepertinya harimau itu kesal karena aku benar-benar mengejeknya. Tapi dia tahu kalau aku tak bisa selamanya menjadi serpihan serpihan yang terpisah. Aku pasti akan menyatukan tubuhku kembali dan menjadi sosok rusa ajaib disalah satu sudut ditempat ini. Dengan begitu ia terus mengamati gundukan serpihan tubuhku yang mulai menyatu disudut sudut rerumputan. Tapi kali ini aku memilih untuk menjadi sosok asliku, serpihan tubuhku membentuk sebuah proporsi tubuh yang sempurna, tinggi semampai dengan kaki, tangan, jari jemari dan jadilah aku. Seorang manusia berambut ikal lengkap dengan kain-kain yang menutup sebagian tubuhku. 

Aku meloncat dengan sisa-sisa tenagaku ke dedahanan pohon ketika harimau itu nyaris menyobek kakiku. Aku berteriak “ sudah cukup hentikan !! aku lelah bermain dengamu” dan harimau itupun berkata dengan suara yang terdengar merangkap dua “ aku juga tidak ingin bermain denganmu rusa. Aku ingin memakanmu! Aku lapar! ” dan pada saat itu harimau itupun perlahan membuyarkan pandanganku ketika samar-samar ia berubah bentuk menjadi sosok dua orang anak laki-laki yang tak berpakaian. Kutaksir mereka seperti anak-anak manusia usia 6 tahunan yang merengek kelaparan. “kita berada dalam wujud yang sama sekarang, apa kalian masih ingin memakanku juga?” aku meringsutkan wajahku pada dedaunan pohon. Aku memang masih bisa melayangkan tubuhku dari dahan kedahan hanya aku tak punya energi untuk membuyar ataupun merubah sosok tubuhku untuk saat ini. Aku meloncati dahan pohon apel yang berbuah ranum dan masih menunggu jawaban mereka. Tapi tatapan mereka kepadaku masih sama. Sama seperti tatapan laparku pada buah buah apel yang merah ini. Kupetik satu apel dan berkata pada mereka “ cobalah apel ini. Aku heran kenapa kalian terlalu haus akan daging. Meskipun aku tak tahu bagaimana rasa daging dari tubuhku ini. Cobalah makan apel ini.. ayo coba..” aku melempar dua buah apel pada mereka dengan gaya bukan seperti memberi makananan dengan bijak tapi lebih seperti melempari mereka berdua dan mengusirnya supaya tidak mengangguku. Aku tahu mereka hanya dua orang anak kecil  yang tak berpakaian dan merengek-rengek, tapi tetap saja aku tak rela kalau mereka harus menggerogoti tubuhku. Beberapa kali kupikirpun tetap hasilnya mengerikan. Mereka berdua menangkap apel yang ku lempar secara bersamaan. Mencoba menggigitnya bergantian dan sesekali terlihat ekspresi berpikir diraut wajah mereka, mengecap rasa baru dilidah yang terbiasa memakan daging. Hampir aku mengira bahwa usahaku memperkenalkan rasa apel akan berhasil ketika sontak saja aku terkaget. Mereka memuntahkan beberapa kunyahan apel yang sudah mereka rasakan. Aku loncat ke dedahanan yang ada di belakangku, karena aku yakin sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku tak mau mereka tiba-tiba berubah kembali menjadi sosok harimau dan memburuku ganas dengan amarah karena telah memberikan rasa apel yang begitu tidak enak. Tapi dugaanku salah. Yang ada di depan mataku adalah pemandangan bahwa dua sosok anak manusia itu bergelimpangan dengan mulut yang berbusa. Ya tuhan, aku telah meracuni mereka.