Thursday, March 30, 2017

Lembar Contekan UNO's



Halaman 2
“Kelabu”
Pagi yang sangat cerah rupanya tak cukup untuk bisa menghilangkan sebuah kekelabuan itu. Suasana yang didukung dengan kondisi kamar yang tak terapihkan, membuat sebuah cangkir kecil dengan polosnya hilang keseimbangan. Teh yang harusnya mengisi kehangatan pagi, dengan bebasnya berebutan sudut pada sebuah karpet cokelat berpolkadot putih. Meresap dan menghilangkan jejak seperti bentuk sebuah pulau.

Angka 08.15 tercetak jelas pada layar smartphone F yang memalaskan diri ditempat tidur. Fixing The Broken Heart _nya Christian Bautista mengiringi soundtrack pagi itu dengan mellow. F  termenung sambil terus memandangi layar smartphonenya. Seolah-olah hanya itu yang ingin ia lakukan untuk menggantìkan ketidakhadiran jadwal kuliahnya. Beberapa kali ada panggilan bertuliskan nama M di layar smartphonenya tapi beberapakali itu pula F menghiraukannya. Teringat selintas peristiwa kemarin sore. Ketika F yang merupakan atlet footsal putri  menghadapi pertandingan pada sebuah kompetisi tahunan. “Siapapun butuh dukungan”. Begitulah kira-kira isi pikiran F saat itu. lapun menghubungi teman-temannya untuk datang melihat pertandingan. Berharap dengan hanya datang dan diam-pun itu sudah mengisi semangat yang selalu dibutuhkan para atlet seperti F ini. Tak perlu adanya pemandu sorak dan sebagainya. Terlalu berlebihan sepertinya. Tapi kenyataan memang tak selalu patuh. Ketika F akhirnya tiba pada waktu dimana ia harus terjun dalam kompetisi, tidak ada satupun temannya yang datang. Bahkan seseorang yang lebih diharapkan datang dibanding yang lainpun tidak menunjukan batang hidungnya. Apakah ini sebuah kalimat kekecewaan? Entahlah. Mungkin sebagian persen inilah yang memengaruhi kekalahan kompetisi sore itu. Miris memang. Tapi apakah kekelabuan ini adalah dampak dari kemarin sore? Atau ada sesuatu yang membuatnya lebih kelabu?

Sekitar sati jam lalu angka menunjukan 07.18. F dengan santai mencoba membuka sebuah timeline pada smartphonenya. Sekedar untuk mencari kabar pagi barangkali jadwal perkuliahan hari ini di pending. Dengan begitu ia bisa seharian bermalas-malasan ditempat yang sama. Tapi nyatanya tidak ada kabar untuk hal itu. F lalu mencoba melihat beberapa status teman-temannya. Ada yang mengeluh, kaget, sedih, galau, memotivasi diri, atau hanya gambar-gambar random kelinci dan beruang coklat yang terlihat berlebihan. Sebuah kode curhatan di pagi hari. Agar semua orang tahu tentang apa yang sedang mereka lakukan dan apa yang sedang mereka rasakan. Padahal siapa peduli. Beberapa status tersebut bertengger dengan manisnya membuat sebuah untaian yang tiada ujung. F terus menggeser-geser status tersebut hingga matanya terfokus pada sebuah status yang membuatnya terdiam. Status itu milik seseorang yang bernama A. Orang yang paling diharapkan hadir dalam kompetisi kemarin sore.

.
.
“ One the way Bianco cafe. For the last and for the beginning #meether “
             .
             .

Hashtag itu sudah mengartikan semuanya. Ketika A di pagi hari mengusahakan untuk menemui seseorang yang dikatakan “her”, padahal kemarin sore dia memutuskan untuk tidak datang melihat pertandingan F. Betapa A lebih mengutamakan “her” dibanding dengan F. Setidaknya ekspektasi F pasti mengalir kesana. Meskipun lebih dari apapun antara A dan F sungguh tidak ada hubungan apa-apa. Begitupun antara A dengan “her” entah apa yang diketahui F. Dan pada akhirnya secui hashtag itulah yang membuat kekelabuan pagi itu. Ibaratnya, tanpa tahu isi sebuah kotak, dari luarnya saja kotak itu sudah membuat F ingin membuangnya jauh-jauh. Jauh dari kenyataan yang sebenarnya belum terungkap.

Tuesday, March 28, 2017

Lembar Contekan UNO's



Halaman 1
“Kaku”

Tak selalu seperti lingkaran. Kadang hidup juga memiliki sudut-sudut tajam yang tak pernah terpikirkan kapan kita akan terpojok di sudut-sudut tersebut. Entah itu terpojokan atau memojokan diri. Seperti saat ini. Yang ada hanya sebuah sudut begaris tiga. Kaku. Tak seperti lingkaran yang bisa diputar. 

Lagu La Voix Du Nord-nya Malena Ernman menjadi soundtrack pagi ìni. A dan I duduk berhadapan disebuah café ala Skandinavia Tengah. Dibeberapa sudut tercetak jelas nama café tersebut. Bianco café. Mereka terlìhat duduk dengan canggung setelah sebelumnya A menghubungi I untuk bertemu di café tersebut. Awalnya I merasa bingung atas ajakan itu. Tapi mengingat sebuah kotak kecil pemberian dari A seminggu yang lalu, iapun tak tega untuk menolak ajakannya. Sejak kedatangan mereka berdua di café tersebut, tak ada sepatah katapun yang berani keluar memulai segalanya. Berkali-kali pelayan menawarkan menu tapi tak kunjung juga mereka memesan. Mereka berdua kompak dalam hal ini. Sama-sama membolak-balik buku menu tanpa ada niatan untuk memilih dan memesannya. Entah ini terlalu pagi untuk sekedar memesan coffee breakfast. Atau entah karena mereka berdua bingung karena terjebak dalam suasana itu. Suasana yang serba kaku di meja nomor 14.

 Setelah akhirya soundtrack pagi itu berganti menjadi music klasik Mozart: haffner No. 35 in D Major. A mulai sadar kalau pertemuan ini terlalu lama untuk dibiarkan sunyi. Pada akhirnya waktu tak akan sepanjang yang ia mau. lapun memutuskan untuk mengucapkan kalimat perpisahan tersebut. Memang A berniat mengucapkan kalimat perpisahan dengan I pagi itu. Sebenarnya mungkin ini terlalu mengejutkan. Tapi selama hampir tiga tahun A mengagumi sosok I, baru kali ini ia memutuskan untuk sekedar berbincang berdua dengan I yang dalam hitungan jam lagi akan pergi keluar negeri. Lebih tepatnya I akan mengikuti program student exchange di  Negeri Bunga Sakura.

 A mulai mengambil nafas dalam-dalam. Siap untuk mengeluarkan kata pembuka keduanya setelah diawal tadi bertemu dia berkata “Hai”. Tapi diluar ekspektasi, I yang masih berkutat pada buku menu tiba-tiba melontarkan kata-kata yang membuat A terdiam tak berkutik. Dengan santainya, dibalik buku menu I berkata “Don’t Worry”. I lantas menyimpan buku menu diatas meja. Berdiri dan menyandang tas begitu saja. Sedikit ia menengok kearah A lalu ia pergi memunggungi dengan kalimat penutup pagi itu. 

 あなたのこと忘れない。今までにありがとう。また来年。ね

Sunday, March 26, 2017

Cinnamon



Chapter 2
Guest

Malam ini aku akan pergi ke rumah bibi Elma. Dia adalah wanita yang sangat baik, berparas cantik, bertalenta, usianya sekitar 38 tahun barangkali. Asal menebak. Aku tak berani untuk bertanya tentang usia seseorang. Kadang-kadang itu terlalu sensitif. Bibi Elma tinggal bersama adik bungsunya yang lucu bernama Diew. Berbeda dengan Diew, dia selalu blak-blakan menyebut usianya. Saat pertama kali bertemu, dia langsung menyapaku dengan kalimat “ Hallo.. namaku Diew, usiaku 11 tahun. Apa kamu punya boneka Barbie?“ begitu dia memperkenalkan dirinya. Kalimat terakhir sedikit membuatku tersendak sedikit. Bukan karena malu mengakui kalau aku tidak punya boneka Barbie. Tapi karena kalimat itu keluar dari mulut Diew yang jelas-jelas anak laki-laki. Tidak ada yang salah memang. Diew tampaknya suka dengan boneka Barbie. Lain halnya aku yang tidak suka dengan boneka super langsing itu. Terlalu berlebihan dan mencela bentuk badanku hahaha.
Rumah bibi Elma berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Melewati toko roti langgananku dan belok ke sebelah kiri sekitar 10 langkah sebelum toko sayuran. Bibi Elma sangat bertalenta. Dia membuka jasa jahit dirumahnya setiap petang. Sedangkan di siang hari, dia bekerja disebuah butik yang lebih besar di wilayah orang-orang kaya. Ibu menyuruhku untuk mengantarkan kain yang harus dijahit menjadi tudung, akhir-akhir ini udara semakin dingin kadang disertai hujan rintik-rintik. Beberapa mantel dan tudung akan lebih membantu di cuaca seperti ini.
Kretekk…
            …………….
“Ibu, apa kau sudah pulang?” aku mendengar suara menggeretek seperti pintu yang terbuka dari arah belakang rumah. Asal saja aku berjalan ke arah suara pintu itu sambil berkata “ibu, sepertinya aku akan berangkat lebih awal ke rumah bibi el….. eh? Ibu..?” kalimatku terputus. Kukira benar ibu sudah pulang dan membuka pintu belakang tetapi tidak ada siapa-siapa disana. Pintu terbuka begitu saja dan ku tengok ke arah luar yang ku dapati hanyalah halaman belakang rumah dengan beberapa sayuran belum matang yang kami tanam. Aneh juga memang. Ini masih satu jam lebih cepat untuk jadwal pulang ibu. Ibu biasanya pulang jam 5 sore dari pekerjaanya membantu orang-orang di panti jompo. Kembali ke masalah pintu yang terbuka, seingatku pintu itu terkunci rapat dan biasanya ibu pulang lewat pintu depan. Lalu bagaimana caranya pintu ini bisa terbuka?. Pemikiranku tiba-tiba keruh. Aku bergegas mengambil gagang sapu di sebelah pintu. Jangan-jangan ada pencuri yang sudah menyelinap masuk. Perlahan aku buka lebar-lebar pintu belakang dan siap-siap kalau aku harus berteriak sekencang-kencangnya sambil memukuli si pencuri. Ku langkahkan kaki pelan-pelan seakan-akan akulah yang menyelinap masuk rumah -_- . Ku tengok kesana kemari di ruang belakang ini, ke bawah meja dapur, ke bawah kursi makan, ke belakang tong tempat air, dan tinggal kamar mandi yang belum ku periksa. Perlahan aku melangkah ke arah kamar mandi.. sambil terus berusaha untuk tidak panik meskipun tangan ini bergemetar. Ku buka pintu kamar mandi yang sudah setengah terbuka, dan benar saja sepertinya ada sesuatu dibalik tirai bak mandi. Mantap tangan kiriku memegang sapu erat-erat dan tangan kanan ku siap membuka tirai..
1…
2…
3…
Hyaaaaahhhhh…………… sontak aku teriak sambil menyingkap tirai bak mandi dan yang ku dapati adalah.. 

Seekor tupai yang terkulai lemas....

Oh god...