Monday, September 17, 2018

Gelang Purnama Introduction


Hallo Guys, apa kabar? semoga semuanya senantiasa ada dalam lindunganNya ya. 🙏😀

Udah aku putusin kalo di blogku ini bakal di post cerita series terbaru dengan judul "Gelang Purnama". Jeng.. Jeng... Kedepannya, kalian bisa nemuin series-series di blog ini dengan mengklik judul seriesnya yang ada di list Hashtag sebelah kanan bawah. Atau Klik disini <--

Ngomongin soal Gelang Purnama, sebenernya cerita ini sudah sempat di filmkan pada tahun 2011. Film kecil-kecilan yang aku ciptain dari hasil imajinasiku sendiri dan dibantu dengan teman-temanku tercinta sebagai para tokoh dan kru didalamnya. Waktu itu, kita bikin filmnya sebagai project terakhir untuk kenang-kenangan di sekolah. Dibuat dengan fasilitas dan waktu yang sangat seadanya.

Jadi intinya ini adalah film yang dijadikan cerita. Bukan cerita yang dijadikan film. Haha. Emang sih sebelum jadi film, tentunya dulu aku udah sempat bikin ceritanya tapi masih sebatas skrip dan untuk keperluan shooting. Bukan kesatuan cerita lengkap yang memuat segalanya kaya cerpen gitu. Karena pada saat shooting, terkadang ada adegan-adegan yang tidak aku tulis dalam skrip. So, aku mau menulis kembali cerita Gelang Purnama ini dalam kesatuan cerita yang (semoga) utuh.

Gelang Purnama sendiri bercerita tentang 4 orang anak SMA yaitu Jae, Okta, Fadil, dan Didin. Mereka selalu merasa hidupnya dipenuhi kesialan. Di lain tempat, ada seorang paranormal yang sedang mencari tumbal untuk menyempurnakan ilmunya. Paranormal tersebut akan menandai calon-calon korbannya dengan sebuah gelang yang dinamai Gelang Purnama. Suatu hari, sang paranormal yang menyamar, bertemu dengan Jae dkk dan memberitahu kalau segala kesusahan yang mereka alami dapat diatasi jika mereka menggunakan Gelang Purnama. Namun, apa yang terjadi? Kita tunggu aja cerita lengkapnya ya :)


Berikut beberapa adegan spoiler yang ada dalam Film Gelang Purnama:





Beberapa adegan film, ada yang aku rubah didalam cerita sebagai bentuk penyesuaian. Karena itu tadi, kala itu kita membuat filmnya dengan waktu dan fasilitas seadanya. Jadi kalau diceritain persis seperti di film, kesan serius nya mungkin akan sedikit berkurang. So, ya aku tambahin banyak penyesuaian. Maybe bisa aja suatu saat nanti ini film bakal di Remake. Who knows :) 
Dan sebenernya dulu aku udah ngebayangin kalo bakal ada GP 2 (Gelang Purnama 2) 
Bukan main sih kalau suatu waktu ini film bisa masuk layar lebar. Hehe.........





Gelang Purnama



(Prolog)

- Hutan Kulon

Temaram menyelimuti celah-celah dedaunan hutan kulon yang selalu berkabut. Suara hewan pengerat berpadu dalam kepakan sayap hitam kelelawar membuat suara keramaian dalam kesunyian. Diantara rimbunan pepohonan dan semak-semak, tersamarkan sebuah bangunan tua yang tak terawat. Bangunan berbentuk kotak tak beratap yang dipenuhi jaring laba-laba. Dua orang laki-laki yang berpakaian serba hitam saling duduk berhadapan didalamnya. Satu diantaranya berperawakan lebih kecil. Seluruh kepala tertutup tudung hitam. Karismanya tak dapat dipungkiri. Mbah Sakti. Konon ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam timbaan ilmu hitam. Banyak orang yang memiliki “keperluan khusus” datang untuk mencarinya ke hutan kulon. Namun hanya beberapa orang saja yang ia kehendaki untuk bertemu. Jika tidak, maka hutan kulon akan jadi tempat terakhir pemberhentian hidupnya.

Seorang lelaki paruh baya berpenutup kepala tertunduk hormat di depan Mbah Sakti. Ia adalah salah satu dari sekian yang memiliki keperluan khusus dan diterima oleh Mbah Sakti sebagai murid. Sudah beberapa tahun terakhir, Ki Purnomo, begitu sebutan lelaki paruh baya itu menimba ilmu yang sama dari Mbah Sakti.

“Kesempurnaan ilmumu sudah cukup dekat Purnomo”

“Terimakasih mbah..”

“Namun, ilmumu itu masih belum sempurna. Masih ada tahap penyempurnaan yang belum kau lakukan”

“Apa itu mbah?”

“Demi kesempurnaan ilmu yang kau anut, kau harus mengorbankan 6 orang tumbal laki-laki”

Ki Purnomo tertegun, ia sadar bahwa lambat laun, keilmuan yang ia timba akan menuntunnya pada sebuah pengorbanan yang berat.

“Bagaimana caranya mbah supaya saya mampu mencari tumbal-tumbal itu?”

“Saya tidak bisa membantumu mencari tumbal-tumbal itu. Tapi saya tau bagaimana caranya memastikan orang-orang yang akan kau jadikan tumbal. Ambilah ini”, Mbah Sakti memberikan sebuah bungkusan hitam kepada Ki Purnomo.

“Apa ini mbah?”

“Didalamnya berisi 6 buah Gelang Purnama, gelang yang akan mengikat pemakainya menjadi tumbalmu. Gelang itu dibuat di tiga tempat Purnama dan kekuatannya akan hilang ditempat itu juga"




- Yudi dan Iwan -

“Pak… pak….” Seorang anak terbujur pucat pasi menahan rasa sakitnya. Antara ketidaksadaran diri dipangkuan kakaknya, dengan suara serak ia terus memanggil-manggil ayahnya yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Seminggu yang lalu, anak itu masih bisa berlarian. Namun entah kenapa saat itu ia tiba-tiba saja terjatuh dan tak sadarkan diri. Lumpuh dan demam naik turun sampai hari ini.

“Sabar ya Iwan, kamu harus kuat.. Kaka ada disini. Bapak pasti sebentar lagi akan pulang” dengan kekhawatiran, Yudi, kaka dari Iwan yang sedang sakit itu berusaha untuk menenangkan Iwan. Berkali-kali mengganti kompresan iwan dan mengelus rambutnya, memijat otot-ototya yang kaku, melakukan apapun sebisanya untuk membuat baik. Padahal ia juga dalam kegelisahan. Entah kapan bapak akan pulang. Bahkan tidak tahu dimana bapak berada. Beberapa kali Yudi menengok jalanan samping kiri-kanan rumah berharap ada sosok bapaknya yang datang. Tapi tidak sebatang hidungpun terlihat bapaknya pulang ke rumah.

Hidup serba kekurangan dan jauh dari keramaian masyarakat menyebabkan sulit untuk mencari sekedar bantuan dari orang lain. Rumah kecil berdinding bilik dan beratap jerami itu menjadi tempat mereka berdua berlindung selama ini. Menjalani kesederhanaan tanpa sosok ayah yang hilang dan ibu yang sudah lama tiada.

Yudi beranjak keluar rumah. Menengok kiri dan kanan hingga akhirnya berjalan menelusuri jalanan yang mengarah ke hutan tempat biasanya ia mencari kayu bakar. Tak perlu waktu lama. Kebetulan bisa saja datang tiba-tiba. Yudi bertemu dengan ayahnya yang entah darimana sudah berdiri terdiam di depannya. Tanpa adanya kehangatan dalam hubungan ayah dan anak itu, dengan ketus, Yudi langsung menegur lebih dulu.

“Pak, bapak kemana saja selama ini? Iwan sakit keras. Kita harus segera membawanya ke dokter” 

“ Iwan tak perlu dibawa ke dokter 

" Pak, jangan katakan bahwa bapak bisa menyembuhkan Iwan dengan ilmu hitam itu "

" Bapak memang bisa menyembuhkannya”

Dengan nada suara dingin, Ki Purnomo meyakinkan bahwa ia bisa menyembuhkan anaknya sendiri dengan ilmunya.

“Aku tidak percaya dengan penyembuhan yang bapak sebutkan. Iwan harus dibawa ke dokter. Kita membutuhkan uang! ” dengan kesal, Yudi memperlihatkan ketidaksetujuan dengan setiap langkah bapaknya yang mengarah ke ilmu yang tak logis.

“Ambil ini dan kau akan mendapatkan keinginanmu”, Ki Purnomo melemparkan sebuah gelang kepada Yudi. Gelang yang sekililingnya dipenuhi bulatan seperti tasbih bebatuan. Bulatan-bulatannya berwarna hitam dengan ukuran yang sama. Tapi tiga diantaranya berjajar dengan ukuran lebih besar dan berwarna merah delima yang tampak mencolok. Gelang Purnama.

“Aku tidak butuh gelang ini! Arrgh..!” dengan kesal, Yudi membanting gelang tersebut ke rerumputan dan pergi meninggalkan bapaknya begitu saja.

Selama perjalanan, Yudi memikirkan kembali gelang itu. Ia tak melihat gelangnya dengan seksama. Mungkinkah itu gelang yang dapat dijual dan bisa menghasilkan uang untuk pengobatan Iwan? Dengan kepenasaran, Yudi kembali ke tempat semula ia membanting gelang itu. Dia mendapati ayahnya sudah tidak ada ditempat. Tapi ia berhasil menemukan gelang Purnama diantara rerumputan Grinting. Melihat warna bulatan gelang yang hitam dan merah, Yudi sedikit kecewa, sepertinya itu bukanlah gelang yang bernilai untuk dijual. Namun ia tetap mengambil dan bahkan memakai gelang itu sebelum akhirnya ia pulang ke rumah.

Keesokan harinya, Yudi pergi ke kampung sebrang untuk mencari pekerjaan harian. Namun tidak ada satupun yang memberinya pekerjaan. Hingga pada suatu lamunan, ia berharap andai saja bisa seketika memperoleh rezeki nomplok. Tak berselang lama, ia merasakan sesuatu yang aneh pada saku celananya. Sesuatu menjejali sakunya sampai penuh dan menonjol. Ia pun merogohnya dan mendapati lembaran-lembaran uang pecahan seratus ribu yang berjejalan dalam saku. Kaget dan bingung. Ia mengingat-ngingat kembali apakah ia pernah memasukan uang-uang itu dan apakah ada orang yang memberikannya. Tapi tak satupun dari alasan-alasan pemikiran itu yang pernah terjadi. Bahkan sejak pagi hari, Yudi tak melakukan apapun selain menawarkan jasa bantu kepada beberapa orang. Itupun tak ada yang membuahkan hasil bahkan tidak sampai menghasilkan uang dengan jumlah yang banyak. Dengan penuh kepenasaran, kaget, senang, takut sekaligus, Yudi menghitung lembar uang tersebut dan ia menemukan keganjilan bahwa uang tersebut tidak ada habisnya dan terus memenuhi saku celananya. Kegembiraan mengalahkan segalanya. Ia berlari untuk membeli beberapa barang dipasar dan bergegas pulang untuk membawa Iwan berobat.  

Sepuluh hari kemudian, Iwan yang tadinya terkulai lemas dan sakit lebih dari seminggu, sudah bisa berjalan kembali. Keadaannya jauh lebih baik setelah mendapat pengobatan dokter. Yudi semakin sering ke kampung sebrang untuk membeli berbagai kebutuhan dari uang yang entah darimana selalu ada dalam sakunya. Hingga pada suatu waktu. Sore itu Yudi berniat untuk pulang ke rumah sehabis dari kampung sebrang. Rute menuju rumahnya harus selalu melewati hutan bambu. Awalnya semua tampak baik-baik saja. Hingga tepat di jalan hutan bambu itu, Yudi dicegat oleh sesosok yang berjubah dan bertudung serba hitam. Ia khawatir kalau sosok itu adalah orang yang menyamar dan ingin merampas barang-barangnya. Namun, ada perasaan yang lebih menakutkan dari itu.

“Si..siapa kamu..?” dengan gemetar, Yudi bertanya pada sosok itu. 

Hening sesaat. Udara menyeruak dingin. Beberapa daun bambu berjatuhan.

“Aku adalah iblis kematian” dengan tiba-tiba, sosok itu menjawab dengan suara yang terdengar berat seakan-akan langsung masuk ke gendang telinga. Memecahkan kesunyian sore yang sudah mulai gelap.

“Hah? Jangan bercanda! Pergilah ! Jangan halangi jalanku!” Masih dengan kepanikan, Yudi menyentakan kata-katanya, berharap dia bisa membuat sosok itu pergi begitu saja.
Keadaan kembali hening. Namun daun bambu semakin berjatuhan dan menghalangi pandangan. Membuat keributan dengan suara gesekan-gesekannya. Beberapa kali Yudi memastikan sosok hitam itu dari padangannya namun ia tak melihatnya lagi. Ia berjalan beberapa langkah kedepan. Tiba-tiba dedaunan bambu berhenti berjatuhan. Sesosok yang tak terlihat, berbisik jelas ditelinga Yudi.

“Ssstt… aku akan menjemputmu anak mudaa…”

Yudi pun sontak kaget dan berpaling ke segala arah untuk mencari sosok tersebut. Dengan kepanikan, ia berlari tak tentu arah. Sumpah serapah terus keluar dari mulutnya. Sosok hitam kembali muncul dalam pandangannya. Mengejar tapi tak bergerak. Seperti melompat dalam jarak yang jauh. 10 meter, 5 meter, hingga tiba-tiba berjarak 1 meter di depan Yudi. Membuat kekagetan adalah hal yang memang paling berbahaya. Yudi terus berlari dan beberapa kali berjalan mundur. Ia tak bisa melihat keadaan sekitar yang gelap hingga akhirnya terjerembab pada kumpulan bambu runcing dan yang tak elak menusuk perutnya dalam-dalam. Sosok hitam itu berdiri dingin tepat didepannya. Namun Yudi tak kuasa bergerak banyak. Sebatang bambu runcing masih menusuk perutnya. Mengunci pergerakannya. Mengeluarkan darah yang teramat banyak. Yudi tak bisa lagi bertahan hingga segalanya berubah menjadi gelap..



Catatan Flesi

Chapter 2
- Kepo -

Kadang aku berpikir kenapa sabtu ke senin lebih cepat daripada senin ke sabtu. Konyol memang. Tapi bukankah akan lebih baik jika kita kerja justru hanya dua hari dan libur lima hari? Lebih konyol lagi rasanya. Tapi pastinya menyenangkan. Mungkin. 

Sabtu pagi ini aku berencana ingin pergi ke car freeday. Setelah sebelumnya sempat membereskan kamar dan merendam cucian, kuputuskan untuk sekalian mandi pagi walaupun nanti pasti bakal berkeringat lagi. Setidaknya daripada ke car freeday dengan muka semrawut? Mana tahu ketemu jodoh. Gak banget rasanya kalo aku tampil dengan muka bantal kan. Oh ya aku tinggal sendiri. Keluargaku semuanya tinggal diluar kota. Jadi aku berperan sebagai tuan rumah sekaligus upik abu. Berharap kapan-kapan bisa jadi cinderella. Yaa.. setidaknya aku sering mendapat mimpi itu. Bahkan di siang bolong sekalipun saat istirahat.

Semua sudah siap. Ku ikat rambut panjangku. Ku ikat juga tali sepatuku. Ku ikat leherku. Oh enggak. Emangnya mau bunuh diri?! Kulihat di jam tanganku masih pukul 06:05. Aku memesan layanan ojek online untuk mengantarkanku ke dekat lokasi car freeday. Seorang driver ojek online datang dan mengantarku ke tujuan. Tidak butuh waktu lama. Jalanan cukup senggang. 17 menit sudah sampai karena perjalanan sudah seperti arena balap motor. Beberapa kali ku tegur untuk memperlambat kecepatan. Tapi terulang lagi dan lagi. Ah sudahlah. Setelah sampai dan turun dari motor, ku lihat sekeliling sudah ramai orang. Ada yang sedang pemanasan, ada yg sedang jogging, ada yg hanya jalan-jalan, ada yang selfie-selfie, ada yang duduk-duduk, ada yang sarapan, ada-ada saja pokonya. Aku mengeluarkan headset dari saku celana. Biar tak terlihat kikuk karena sendirian. Aku mulai berjogging santai dengan memakai headset. Padahal tidak ada musiknya sama sekali. Pencitraan.

Beberapa menit jogging sudah membuat keringat berkonser ria. Entah ini karena metabolisme akibat “jogging” nya itu atau entah karena panas terik matahari. Aku berpikir untuk duduk sejenak dipinggiran bawah pohon. Ku seka keringat dengan handuk good morning yang kubawa. Kubuka instagram untuk lihat apapun yang menarik. Beberapa postingan makanan membuat perut ini berkriuk-kriuk. Tak lupa postingan akun “Hossip” (Hot Gossip) yang masih saja membahas perpisahan pasangan selebritis. Privasi sih tetapi memang enak untuk dinikmati netizen. 

Pandanganku fokus pada satu postingan di kolom publik. Foto seseorang yang aku kenal. Oh bukan kenal,  tapi pernah melihatnya, oh atau mungkin bukan melihatnya. Kami pernah berpapasan. Kala itu. Ya si cowo yang waktu itu pakai kemeja putih dan makan kebab di cafetaria gedung sebelah. Fotonya memperlihatkan dia sedang duduk santai dibawah pohon. Memakai setelan olahraga. Kaos biru polos, celana hitam pendek dan sepatu olahraga putih yang merknya terpampang jelas. Tunggu.. Sepertinya aku kenal lokasinya. "OHMAYGAT". Ini pohon yang persis sama dengan yang ada di sampingku. Spontan aku celingak-celinguk sendiri. Jangan-jangan si cowo itu memang ada disampingku. Aku berdiri dan sekali lagi ku lihat kanan kiri. Ku putari pohon itu dan kulihat jauh ke sekelilingnya. Tapi tidak ada dia. Kulihat lagi postingannya dan kuyakinkan memang itu tempat yang sama. Catatan waktunya di post 5 menit yang lalu. Dan yang membuatku terkejut lagi, postingan 5 menit tapi sudah mendapat hampir 2 ribu like. What…??!! Siapa dia. Oke sekarang aku mulai gagal fokus dan penasaran sama orang itu. Kubuka akun instagramnya. Postingannya banyak. Likenya banyak. Followersnya 1m. Kebanyakan perempuan. Hmm okay. Namanya “Marvelio Kenny Adhyastha”. Aku akui namanya cukup keren. Entah panggilannya Marvel, Ken atau Adhy mungkin. Di bio nya hanya tertulis kalimat “Tempora mutantur etnos, mutamur in illis”. Seingatku ini pepatah latin yang artinya “Waktu itu berubah. Dan kita ikut berubah didalamnya”.  Makna yang sangat dalam.

Sekarang aku benar-benar penasaran. Ku lihat beberapa postingannya. Gaya hidupnya terlihat simple tapi elegan. Ada postingan yang memang terlihat apa adanya. Ada juga yang terlihat keren dan bergaya sangat-sangat mewah. Ada foto berdua bersama perempuan. Dan ada cukup banyak foto bersama bayi yang lucu. Baiklah. Kusimpulkan kalo dia seorang 'selebgram papah muda'. Gak heran kalau banyak pengikutnya. Setelah kesimpulan yang kubuat, kututup instagram dan kulihat jam menunjukan pukul 09:34. Ternyata sudah cukup siang. Aku tidak sadar menghabiskan waktu terlalu banyak dengan instagram dan ke‘kepo’an ku terhadap si papah muda itu. Tadinya akan kulanjutkan berjogging, tapi sepertinya tidak mungkin dengan matahari seterik ini. Kuputuskan untuk pulang dan memesan ojek online.

Akses jalanan yang ditutup untuk car freeday, membuatku harus berjalan cukup jauh untuk menemui drivernya. Kami sepakat untuk bertemu di dekat parkiran sebuah bank nasional. Dan setelah kita bertemu, aku mulai memakai helm dan menaiki motornya.Tapi tepat sebelum motor melaju, tiba-tiba kulihat ada pemandangan yang menarik. Tepat di sebelah kiri, kulihat ada si papah muda! Seketika refleks ku bilang “bentar ya bang”. 

Ku lihat si papah muda berjalan menghampiri sebuah mobil Terios putih. Persis dengan setelan yang ada di postingan instagram itu. Tak lama, menyusul seorang perempuan dari belakang dan keduanya masuk mobil tersebut. Well.. 


Jalan bang..



- - Berlanjut di chapter 3 - -


 CHAPTER 1

 CHAPTER 2

 CHAPTER 3

 CHAPTER 4