Senja kini tak
lagi sama. Harapan yang terus kau pupuk dari jauh hari harus lenyap hanya dari
beberapa kalimat.Angan yang membuatmu tersenyum bahagia, harus berputar 180
derajat dalam senyuman palsu yang terus menyayat dari dalam. Manusia itu memang
perasa. Dan kehendaknya memang tak bisa dipaksakan. Apa yang diharapkan A tidak
selalu berakhir A, bisa B, bisa K, bisa O, bisa Z sekalipun. Tapi kesunyian
juga merupakan pilihan. Tanpanya kamu tak kan pernah tau betapa hangatnya
keramaian. Hal-hal yang tak pernah kita syukuri sebelumnya.
Dingin itu terlalu
lama. Sampai-sampai bekunya membuat hati ini seperti batu. Sebanyak apapun
goresan tak akan pernah membuatmu goyah. Mungkin kau berpikir cukup kuat. Tapi
dengan satu hantaman maka kaupun tinggal menunggu waktu untuk lebur.
Menghilang, dan melupakan segala kesia-siaan yang selama ini kau tanam.
Aku lihat sebelah
capit itu dibalik bebatuan sungai yang berlumut. Kemudian sepasang mata kecil
mengintip diantara celah kedua batu. Mungkin dia malu untuk bertemu denganku,
mungkin dia sedang menunggu temannya, mungkin dia takut, atau mungkin dia benci
denganku. Aku yang tak bisa berjalan bersamanya beriringan. Menyusuri sungai
dan batu-batu kerikil berpasir. Aku tau, meski kita punya capit yang sama, tapi
apa yang ada padaku tidak lebih dari sekedar racun yang ganas. Lagipula aku
memang tak akan bisa mengikutinya. Aku tak bisa berenang kalau tiba-tiba air
sungai menyeretku. Aku hanya akan menjadi beban baginya. Dan apa yang lebih buruk daripada menjadi beban bagi yang lain? Lebih baik untuk kembali kedalam
lubang yang gelap gulita. Berharap sekali lagi cahaya menerobos masuk
kedalamnya. Membawa kehangatan dan warna yang baru. Karena siklus itu memang
berputar. Keyakinanlah yang menjalankannya.
0 comments:
Post a Comment