Halaman 1
“Kaku”
Tak selalu seperti lingkaran. Kadang hidup juga memiliki
sudut-sudut tajam yang tak pernah
terpikirkan kapan kita akan terpojok di sudut-sudut tersebut. Entah itu
terpojokan atau memojokan diri. Seperti saat ini. Yang ada hanya sebuah sudut begaris tiga. Kaku. Tak seperti
lingkaran yang bisa diputar.
Lagu La Voix Du Nord-nya Malena Ernman menjadi soundtrack pagi
ìni. A dan I duduk berhadapan
disebuah café ala Skandinavia Tengah. Dibeberapa sudut tercetak jelas
nama café tersebut. Bianco café.
Mereka terlìhat duduk dengan canggung setelah sebelumnya A menghubungi I untuk bertemu di café tersebut. Awalnya I merasa
bingung atas ajakan itu. Tapi
mengingat sebuah kotak kecil pemberian dari A seminggu yang lalu, iapun tak tega
untuk menolak ajakannya. Sejak kedatangan mereka
berdua di café
tersebut, tak ada sepatah
katapun yang berani keluar memulai
segalanya. Berkali-kali pelayan
menawarkan menu tapi
tak kunjung juga mereka memesan. Mereka berdua kompak dalam hal ini. Sama-sama membolak-balik buku menu tanpa ada niatan
untuk memilih dan memesannya. Entah
ini terlalu pagi
untuk sekedar memesan coffee
breakfast. Atau entah karena mereka
berdua bingung karena
terjebak dalam suasana
itu. Suasana yang serba kaku
di meja nomor
14.
Setelah akhirya soundtrack pagi itu berganti menjadi music klasik Mozart: haffner No. 35 in D Major. A mulai sadar
kalau pertemuan ini terlalu lama untuk dibiarkan
sunyi. Pada akhirnya waktu
tak akan sepanjang yang ia mau. lapun memutuskan untuk mengucapkan kalimat perpisahan tersebut. Memang A
berniat mengucapkan kalimat perpisahan dengan I pagi itu. Sebenarnya mungkin ini terlalu mengejutkan. Tapi selama
hampir tiga tahun A mengagumi sosok
I, baru kali ini ia memutuskan untuk sekedar berbincang berdua dengan I yang dalam hitungan jam lagi akan pergi keluar
negeri. Lebih tepatnya I akan mengikuti program student exchange di Negeri Bunga
Sakura.
A mulai mengambil nafas dalam-dalam. Siap untuk
mengeluarkan kata pembuka keduanya
setelah diawal tadi bertemu dia berkata “Hai”. Tapi diluar ekspektasi, I yang masih berkutat pada buku menu tiba-tiba
melontarkan kata-kata yang membuat A terdiam tak berkutik. Dengan santainya, dibalik buku menu I berkata “Don’t
Worry”. I lantas menyimpan buku
menu diatas meja. Berdiri dan menyandang tas begitu saja.
Sedikit ia menengok kearah A lalu
ia pergi memunggungi dengan
kalimat penutup pagi
itu.
あなたのこと忘れない。今までにありがとう。また来年。ね
0 comments:
Post a Comment