Chapter 1
- Berpapasan -
- Berpapasan -
Namaku Raflesia Annora. Lebih sering dipanggil Flesi daripada Rafles atau bahkan Annora. Usiaku 27 tahun dan aku tidak malu mengungkapkan hal itu karena umur adalah anugerah dari Tuhan. Bagiku setiap pagi adalah misteri. Cerita tetang
seluk beluk hidup yang tak seorangpun tau akan seperti apa dimasa mendatang.
Ibarat kepongpong yang tak bisa dipastikan menjadi kupu-kupu. Karena hidup
butuh perjuangan yang kasar untuk bertahan didalamnya. Begitupun larva dalam kepopong
tak hanya diam menunggu dirinya membusuk, melainkan berusaha melakukan apa yang
ia bisa untuk menghasilkan hal terindah dalam hidupnya.
Pagi ini seperti biasa aku meniti tangga
menuju jembatan penyebrangan. Rutinitas kerja keseharian yang sebenarnya
teramat membosankan. Tapi inilah formalitas. Seperti biasa pula pemandangan
pagi selalu membuat kesan yang menarik dibenakku. Hilir mudik kendaraan,
antrian bis kota, para penjual menu sarapan, dan orang-orang kantor yang
terlihat tergesa-gesa. Aku nyaris selalu menikmati detik demi detik apa yang
kulalui. Kadang pemandangan yang sama terulang di hari berikutnya. Kadang juga
subjek-subjek baru merebut perhatianku. Seperti seseorang berkemeja putih pagi itu. Berambut klimis, celana bahan katun hitam, sepatu pantofel, dasi
belang merah maroon, dan tak lupa balpoin silver yang terselip disaku kiri
dadanya. Penampilannya sangat terlihat dewasa. Dia baru saja turun dari mobil
hitam mewahnya. Tangan kirinya menenteng sebuah tas kerja berwarna coklat tua.
Tangan kananya menggenggam smartphone berlogo apel yang digigit dengan chasing warna gold.
Orang-orang akan bilang kalau yang seperti inilah yang dinamakan “ keren ”. Sedangkan
aku? Jauh daripada apa yang bisa dipikirkan. Tentu saja akupun keren dengan kesederhanaanku.
Lagipula aku tidak peduli dengan indikator keren yang diagung-agungkan setiap
orang di zaman ini.
Berpapasan dengan orang berkemeja putih tak
memaksaku untuk mengumbar senyum sedikitpun. Setiap detik langkah-langkahnya
hanya membuatku alergi dan leherku kaku untuk berpaling dari jalanan. Tapi siapa
kira justru dia yang menengok-ku ketika kita tepat berpapasan. Sudut mataku yang
memicing tetap bisa menangkap sosok yang melirikku dari samping. Kesal yang ada
membuat batinku berguman “apa hak-mu untuk meliriku dari samping”. Aku
berusaha tak terlalu memikirkannya dan tetap tertuju pada jalanku. Tapi rasa
penasaran memang sebuah penyakit yang susah di hilangkan. Andaikan ada obatnya,
mungkin aku akan membelinya setiap hari. Rasa penasaran inilah yang selalu
menjebakku. Setelah sekitar 5 langkah dari persimpangan tadi, aku berpaling dan
melihat sosoknya ke belakang. Dan saat itu pula dia melakukan hal yang sama
dengan berpaling melihat ku. Tatapan kita saling bertemu dan membisu. Aku
bahkan tak punya kata-kata dalam pikiranku. Kikuk. Semua terjadi karena reflex dan
penyakit penasaran ini. Setelah itu kita sama-sama melanjutkan tuntutan hidup
kita masing-masing, melanjutkan perjalanan yang berlawanan arah.
Sekuel dipagi hari biasanya merupakan
untaian yang teramat singkat. Aku nyaris tak menghabiskan 10 menit untuk bisa
sampai ditempat kerja, terkadang aku berharap mendapatkan klise-klise yang
panjang saat di perjalanan. Karena hidupku benar-benar terkunci untuk duduk seharian
di depan layar monitor. Satu detik, satu menit, satu jam, tak kulewatkan untuk
selalu melihat jam dinding itu. Berharap secepatnya tiba pada jam pulang. Karena aku benar-benar tak menikmati
keseharian yang seperti ini kalau bukan untuk profesionalitas.
Jam berdering waktu istirahat makan siang. Aku segera menuju antrian lift
turun untuk berada di lantai dasar. Di sebelah kanan belakang gedung terdapat
cafetaria dengan berbagai pilihan menu makan siang. Aku berkeliling dan
mendapati bahwa tak ada pilihan yang kuinginkan disana. Kuputuskan untuk
mencari di cafetaria gedung lain disebelah barat. Disana aku melihat sebuah
cafe yang menyediakan menu kebab. Bukan sebuah rencana, tapi aku
berpikir untuk membeli kebab tersebut untuk menu makan siangku. Kulangkahkan
kakiku menuju cafe tersebut. Tidak ada antrian sama sekali. Bahkan kulihat hanya ada satu orang pelanggan. Tapi aku merasakan sedikit
kekakuan ketika berdiri di depan cafe tersebut. Aku melihat seseorang sedang
duduk disana. Menyantap kebab dengan tak mengalihkan pandangan dari smartphone
nya. Aku kenal sosok itu. Oh mungkin bukan kenal, tapi pernah melihatnya, oh
atau mungkin bukan melihatnya. Kami hanya berpapasan. Pagi tadi. Di jembatan
penyebrangan itu. Si pria berkemeja putih. Aku berbisik bodoh dalam hati. “jadi dia
suka kebab?”. Sekejap aku sadar pelayan cafe yang berada di depanku
berulang-ulang menanyakan pesanan. Dan aku masih disana berdiri menatap pria
itu penasaran. Aku rasa ketidaktanggapanku membuat si pria berkemeja putih itu
mengalihkan pandangan dari smartphone nya dan menatap lurus padaku. Seperti ada sinyal yang merambat begitu saja. Aku menjadi
salah tingkah dan bergegas untuk memesan kebab pada pelayan cafe yang daritadi sudah bawel menanyakan pesananku. Awalnya aku
ingin memakan kebab di cafe tersebut. Tapi entah kenapa mulut ini mengeluarkan
kata "di bungkus ya" dan bergegas kembali ke kantor. Mungkin pilihan terbaik untuk
menghabiskan kebab ini di meja kerjaku saja. Aku yakin akan makin kaku bila
makan kebab di cafe tersebut hanya ada aku dan si pria berkemeja putih itu.
- Berlanjut di Chapter 2 -
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
- Berlanjut di Chapter 2 -
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4