🐍 🐍 🐍 🐍
Aku hanyalah anak desa biasa. Namaku Urar, sedikit perbedaan huruf menyebabkan anak-anak yang lain sering meledeku dengan sebutan ular. Rasanya sudah tidak asing lagi dengan sebutan urar si manusia ular. Terlebih kulitku yang berwarna gelap dan kering terkena panas seringkali mengelupas dibeberapa bagian layaknya ular yang berganti kulit.
Aku hanyalah anak desa biasa. Namaku Urar, sedikit perbedaan huruf menyebabkan anak-anak yang lain sering meledeku dengan sebutan ular. Rasanya sudah tidak asing lagi dengan sebutan urar si manusia ular. Terlebih kulitku yang berwarna gelap dan kering terkena panas seringkali mengelupas dibeberapa bagian layaknya ular yang berganti kulit.
Setiap ada yang
meledekku, aku selalu benci dengan namaku sendiri. Aku kadang kesal
dengan mendiang kedua orang tuaku
yang memberikan nama aneh ini. Sehingga akhirnya aku pasti
merengek pada nenek untuk mengganti namaku. Tapi nenek selalu bilang kalau
namaku itu unik. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ular yang sering diejek
orang-orang. Entah darimana juga orang tuaku mendapatkan nama ini, yang jelas
nenek berkata bahwa namaku berarti “Watchmaker/pembuat jam”. Nenek juga selalu
bilang kalau dengan nama ini aku berarti akan menjadi orang hebat. Pembuat jam
adalah orang yang mengerti tentang waktu. Waktu adalah raja yang mengendalikan
manusia. Ketika kita bisa mengendalikan waktu, kita akan benar-benar bisa
memanfaatkan hidup kita dengan baik. Penjelasan nenek membuat kepercayaan
diriku tumbuh. Meskipun setiap kali ada yang meledekku, aku kembali muram.
Dan terus naik turun seperti itu.
Pada hari itu,
setelah pulang sekolah, aku membuat sebuah perahu kertas untuk kumainkan di
selokan kecil dekat rumahku. Terlihat dua orang anak sekelasku yang
kebetulan tetanggaku juga mengikuti
dengan membuat perahu kertas juga. Aku tak terlalu mempedulikan tingkah mereka
yang mengikutiku. Sesampainya di selokan dekat rumah, langsung saja kudaratkan
perahu kertasku diatas air. Tak lama, aku terkaget ketika anak-anak itu
tiba-tiba saja berteriak mengejekku dengan sebutan yang tak asing. “Ular!”. Ya, ejekan seperti biasa. Dan sudah
kuanggap angin belaka. Aku tak peduli dan terus mengawasi perahu kertasku. Tapi
teriakan mereka semakin kencang. “ULAR ! ULAR !” akupun kesal, berniat untuk memelototkan
mataku. Aku menoleh dan bersiap
untuk sekedar memberikan ekspresi sebal. Tapi yang kudapati adalah ketakutan
yang membuat sekujur tubuhku kaku dan kaget seketika. Aku mendapati seekor ular kobra
sungguhan yang menegakan
kepalanya tepat menghadap
wajahku. Seakan-akan siap untuk
menyerang. Mata kami bertatapan dalam bisu. Kedua anak yang teriak tadi sudah
kabur entah kemana. Aku bergerak sedikit. Berniat untuk kabur secepat mungkin.
Tapi gerakan ular itu sangat cepat menyerangku. Refleks, untungnya masih bisa
kuhindari. Dengan ketakuan dan keberanian, spontan saja ku tendang kepala ular
itu sampai dia terpental. Dan akupun langsung lari terbirit-birit.
Ketakutan kini menghantuiku. Entah kenapa sejak kejadian itu
aku selalu berpikiran tentang ular. Dimanapun aku berada, selalu ku waspadai
tentang keberadaan ular, ular dan ular. Aku takut dan terlalu cemas
sampai-sampai tak pernah lagi memakai ikat pinggang. Kadang itu terlihat
seperti ular pikirku. Ketakutan ini juga membuatku kesal. Aku terlanjur kesal
dengan hewan yang namanya ular yang selalu menghantui pikiranku.
Minggu pagi itu, aku pergi kembali ke selokan dekat rumahku.
Bukan membawa perahu kertas, melainkan membawa sebilah tongkat bambu. Aku
berniat untuk mencari ular. Menghadapi ketakutanku sendiri. Kucari di
semak-semak sepanjang selokan. Dan munculah beberapa ular air yang tak berbisa.
Entahlah, aku tak takut sama sekali. Aku tersenyum, menyeringai, dan mulai
menghantam ular-ular itu dengan tongkat bambu. Ya. Aku menghabisi nyawa mereka.
Ular yang tak bersalah. Tapi aku tak berhenti. Aku terus mencari lagi di sepanjang selokan itu. Lagi,
lagi dan lagi kutemukan ular. Kulakukan hal yang sama. Kubantai mereka semua.
Terlihat air selokan sedikit berubah warna merah darah. Aku benar-benar merasa
bersemangat dalam kegilaan. Tapi aku belum menemukan ular kobra yang waktu itu.
Aku akan menunggu sampai bisa membunuhnya.
Ejekan kata-kata “ular” yang dilontarkan orang-orang sudah
mulai tak bisa ku acuhkan. Anehnya ketakutanku dengan ular malah membuat emosi dan adrenalinku naik. Aku yang
biasanya diam mendengar ejekan mereka, kini tak lagi sama. Selalu ku ambil
barang apapun yang ada disana dan sontak melemparkannya, menyerang orang-orang
yang mengejeku tanpa ampun bahkan sampai berdarah-darah. Sadis. Tak ada yang berani melawan. Aku tidak
tau kenapa aku bisa kuat melawan mereka. Ya, aku seperti gila. Seperti
kesurupan samson yang bengis. Semenjak aku menjadi seperti itu, tak ada lagi
yang berani mengejekku dengan sebutan ular. Pandangan orang-orang terlihat
takut saat kutatap mata mereka.
Dalam kesepian, kadang aku berpikir mungkinkah kebencian
ular-ular yang mati terhadapku malah jadi kekuatan dalam diriku? Aku tau,
ular-ular yang mati tak bersalah itu pasti menyimpan dendam terhadapku. Kadang
mereka muncul dalam mimpi-mimpiku, seperti membalas perlakuanku terhadap
mereka. Tapi aku terlanjur kuat. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku melawan dan
masih bisa membantai mereka. Sampai aku berteriak untuk menantang raja diantara
ular-ular itu. Dan ketika ku terbangun, aku sadar kalau aku terlalu berlebihan.
Sepertinya mimpi bukanlah sekedar mimpi. Semenjak
kata-kataku dalam mimpi yang menantang raja dintara ular-ular itu, aku selalu
mendapati ular-ular yang melintas di depan jalanku. Selalu tinggal ekornya saja
yang ku lihat. Seperti memberikan pesan “hati-hati dengan ucapanmu nak”. Kadang
aku juga sering mendengar desis-an mereka dimana-mana walau wujudnya tak pernah terlihat. Aku juga heran terkadang aku mengerti apa arti
desisan ular-ular tak berwujud yang ku dengar. Memang bukan kalimat kebencian
yang kudengar, malah aku mendengar seakan-akan mereka senang dengan kehadiranku.
Ini benar-benar gila. Ku buka pintu rumahku dan serasa ingin melepas semuanya. Aku
berlari dengan kecang dan tiba-tiba tersungkur ke semak-semak. Kudapati ekor
ular yang sangat besar, kuamati ekor itu begitu panjang dan mengerikan. Terus
kuamati ekor itu demi mengetahui bagaimana hulunya. Tapi mataku terbelalak kala
ku tahu ekor itu adalah ekorku.
0 comments:
Post a Comment