(Prolog)
- Hutan Kulon
–
Temaram menyelimuti celah-celah dedaunan
hutan kulon yang selalu berkabut. Suara hewan pengerat berpadu dalam kepakan
sayap hitam kelelawar membuat suara keramaian dalam kesunyian. Diantara rimbunan
pepohonan dan semak-semak, tersamarkan sebuah bangunan tua yang tak terawat.
Bangunan berbentuk kotak tak beratap yang dipenuhi jaring laba-laba. Dua orang
laki-laki yang berpakaian serba hitam saling duduk berhadapan didalamnya. Satu
diantaranya berperawakan lebih kecil. Seluruh kepala tertutup tudung hitam. Karismanya
tak dapat dipungkiri. Mbah Sakti. Konon ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya
dalam timbaan ilmu hitam. Banyak orang yang memiliki “keperluan khusus” datang
untuk mencarinya ke hutan kulon. Namun hanya beberapa orang saja yang ia
kehendaki untuk bertemu. Jika tidak, maka hutan kulon akan jadi tempat terakhir pemberhentian hidupnya.
Seorang lelaki paruh baya berpenutup kepala
tertunduk hormat di depan Mbah Sakti. Ia adalah salah satu dari sekian yang
memiliki keperluan khusus dan diterima oleh Mbah Sakti sebagai murid. Sudah beberapa tahun
terakhir, Ki Purnomo, begitu sebutan lelaki paruh baya itu menimba ilmu yang sama dari Mbah
Sakti.
“Kesempurnaan ilmumu sudah cukup
dekat Purnomo”
“Terimakasih mbah..”
“Namun, ilmumu itu masih belum sempurna. Masih ada tahap penyempurnaan yang belum kau lakukan”
“Apa itu mbah?”
“Demi kesempurnaan ilmu yang kau anut, kau harus mengorbankan 6 orang
tumbal laki-laki”
Ki Purnomo tertegun, ia sadar bahwa
lambat laun, keilmuan yang ia timba akan menuntunnya pada sebuah pengorbanan
yang berat.
“Bagaimana caranya mbah supaya saya mampu mencari tumbal-tumbal itu?”
“Saya tidak bisa membantumu mencari tumbal-tumbal itu. Tapi saya tau bagaimana caranya memastikan orang-orang yang akan kau jadikan tumbal. Ambilah ini”, Mbah Sakti
memberikan sebuah bungkusan hitam kepada Ki Purnomo.
“Apa ini mbah?”
“Didalamnya berisi 6 buah Gelang
Purnama, gelang yang akan mengikat pemakainya menjadi tumbalmu. Gelang itu dibuat di tiga tempat Purnama dan kekuatannya akan hilang ditempat itu juga"
- Yudi
dan Iwan -
“Pak… pak….” Seorang anak terbujur pucat
pasi menahan rasa sakitnya. Antara ketidaksadaran diri dipangkuan kakaknya,
dengan suara serak ia terus memanggil-manggil ayahnya yang sudah lama
tidak pulang ke rumah. Seminggu yang lalu, anak itu masih bisa berlarian. Namun
entah kenapa saat itu ia tiba-tiba saja terjatuh dan tak sadarkan diri. Lumpuh dan
demam naik turun sampai hari ini.
“Sabar ya Iwan, kamu harus kuat.. Kaka ada
disini. Bapak pasti sebentar lagi akan pulang” dengan kekhawatiran, Yudi, kaka
dari Iwan yang sedang sakit itu berusaha untuk menenangkan Iwan. Berkali-kali
mengganti kompresan iwan dan mengelus rambutnya, memijat otot-ototya yang kaku,
melakukan apapun sebisanya untuk membuat baik. Padahal ia juga dalam
kegelisahan. Entah kapan bapak akan pulang. Bahkan tidak tahu dimana bapak
berada. Beberapa kali Yudi menengok jalanan samping kiri-kanan rumah berharap
ada sosok bapaknya yang datang. Tapi tidak sebatang hidungpun terlihat bapaknya
pulang ke rumah.
Hidup serba kekurangan dan jauh dari keramaian masyarakat
menyebabkan sulit untuk mencari sekedar bantuan dari orang lain. Rumah kecil berdinding bilik
dan beratap jerami itu menjadi tempat mereka berdua berlindung selama ini.
Menjalani kesederhanaan tanpa sosok ayah yang hilang dan ibu yang sudah lama
tiada.
Yudi beranjak keluar rumah. Menengok kiri dan kanan hingga
akhirnya berjalan menelusuri jalanan yang mengarah ke hutan tempat biasanya ia
mencari kayu bakar. Tak perlu waktu lama. Kebetulan bisa saja datang tiba-tiba. Yudi bertemu dengan ayahnya yang entah darimana sudah berdiri terdiam di
depannya. Tanpa adanya kehangatan dalam hubungan ayah dan anak itu, dengan
ketus, Yudi langsung menegur lebih dulu.
“Pak, bapak kemana saja selama ini? Iwan sakit keras. Kita
harus segera membawanya ke dokter”
“ Iwan tak perlu dibawa ke dokter “
" Pak, jangan katakan bahwa bapak bisa menyembuhkan Iwan dengan ilmu hitam itu "
" Bapak memang bisa
menyembuhkannya”
Dengan nada suara dingin, Ki Purnomo meyakinkan bahwa ia bisa
menyembuhkan anaknya sendiri dengan ilmunya.
“Aku tidak percaya dengan penyembuhan yang bapak sebutkan. Iwan
harus dibawa ke dokter. Kita membutuhkan uang! ” dengan kesal, Yudi
memperlihatkan ketidaksetujuan dengan setiap langkah bapaknya yang mengarah ke
ilmu yang tak logis.
“Ambil ini dan kau akan mendapatkan keinginanmu”, Ki Purnomo melemparkan sebuah gelang kepada
Yudi. Gelang yang sekililingnya dipenuhi bulatan seperti tasbih
bebatuan. Bulatan-bulatannya berwarna hitam dengan ukuran yang sama. Tapi tiga
diantaranya berjajar dengan ukuran lebih besar dan berwarna merah delima yang tampak mencolok.
Gelang Purnama.
“Aku tidak butuh gelang ini! Arrgh..!” dengan kesal, Yudi membanting gelang tersebut ke
rerumputan dan pergi meninggalkan bapaknya begitu saja.
Selama perjalanan, Yudi memikirkan kembali gelang itu. Ia tak
melihat gelangnya dengan seksama. Mungkinkah itu gelang yang dapat dijual dan
bisa menghasilkan uang untuk pengobatan Iwan? Dengan kepenasaran, Yudi kembali
ke tempat semula ia membanting gelang itu. Dia mendapati ayahnya sudah tidak
ada ditempat. Tapi ia berhasil menemukan gelang Purnama diantara rerumputan
Grinting. Melihat warna bulatan gelang yang hitam dan merah, Yudi sedikit
kecewa, sepertinya itu bukanlah gelang yang bernilai untuk dijual. Namun ia
tetap mengambil dan bahkan memakai gelang itu sebelum akhirnya ia pulang ke
rumah.
Keesokan harinya, Yudi pergi ke kampung sebrang untuk mencari
pekerjaan harian. Namun tidak ada satupun yang memberinya pekerjaan. Hingga
pada suatu lamunan, ia berharap andai saja bisa seketika memperoleh rezeki
nomplok. Tak berselang lama, ia merasakan sesuatu yang aneh pada saku
celananya. Sesuatu menjejali sakunya sampai penuh dan menonjol. Ia pun
merogohnya dan mendapati lembaran-lembaran uang pecahan seratus ribu yang
berjejalan dalam saku. Kaget dan bingung. Ia mengingat-ngingat kembali apakah ia pernah
memasukan uang-uang itu dan apakah ada orang yang memberikannya. Tapi tak
satupun dari alasan-alasan pemikiran itu yang pernah terjadi. Bahkan sejak pagi hari, Yudi
tak melakukan apapun selain menawarkan jasa bantu kepada beberapa orang. Itupun
tak ada yang membuahkan hasil bahkan tidak sampai menghasilkan uang dengan
jumlah yang banyak. Dengan penuh kepenasaran, kaget, senang, takut sekaligus, Yudi menghitung lembar uang tersebut dan ia menemukan keganjilan bahwa uang
tersebut tidak ada habisnya dan terus memenuhi saku celananya. Kegembiraan
mengalahkan segalanya. Ia berlari untuk membeli beberapa barang dipasar dan
bergegas pulang untuk membawa Iwan berobat.
Sepuluh hari kemudian, Iwan yang tadinya terkulai lemas dan sakit
lebih dari seminggu, sudah bisa berjalan kembali. Keadaannya jauh lebih baik
setelah mendapat pengobatan dokter. Yudi semakin sering ke kampung sebrang untuk
membeli berbagai kebutuhan dari uang yang entah darimana selalu ada dalam sakunya. Hingga pada suatu waktu. Sore itu Yudi berniat
untuk pulang ke rumah sehabis dari kampung sebrang. Rute menuju rumahnya harus
selalu melewati hutan bambu. Awalnya semua tampak baik-baik saja. Hingga tepat
di jalan hutan bambu itu, Yudi dicegat oleh sesosok yang berjubah dan bertudung
serba hitam. Ia khawatir kalau sosok itu adalah orang yang menyamar dan ingin
merampas barang-barangnya. Namun, ada perasaan yang lebih menakutkan dari itu.
“Si..siapa kamu..?” dengan gemetar, Yudi bertanya pada sosok
itu.
Hening sesaat. Udara menyeruak dingin. Beberapa daun bambu
berjatuhan.
“Aku adalah iblis kematian” dengan tiba-tiba, sosok itu
menjawab dengan suara yang terdengar berat seakan-akan langsung masuk ke
gendang telinga. Memecahkan kesunyian sore yang sudah mulai gelap.
“Hah? Jangan bercanda! Pergilah ! Jangan halangi jalanku!” Masih
dengan kepanikan, Yudi menyentakan kata-katanya, berharap dia bisa membuat
sosok itu pergi begitu saja.
Keadaan kembali hening. Namun daun bambu semakin berjatuhan
dan menghalangi pandangan. Membuat keributan dengan suara gesekan-gesekannya.
Beberapa kali Yudi memastikan sosok hitam itu dari padangannya namun ia tak melihatnya lagi. Ia
berjalan beberapa langkah kedepan. Tiba-tiba dedaunan bambu berhenti
berjatuhan. Sesosok yang tak terlihat, berbisik jelas ditelinga Yudi.
“Ssstt… aku akan menjemputmu anak mudaa…”
Yudi pun sontak kaget dan berpaling ke segala arah untuk
mencari sosok tersebut. Dengan kepanikan, ia berlari tak tentu arah. Sumpah
serapah terus keluar dari mulutnya. Sosok hitam kembali muncul dalam
pandangannya. Mengejar tapi tak bergerak. Seperti melompat dalam jarak yang jauh. 10
meter, 5 meter, hingga tiba-tiba berjarak 1 meter di depan Yudi. Membuat
kekagetan adalah hal yang memang paling berbahaya. Yudi terus berlari dan beberapa
kali berjalan mundur. Ia tak bisa melihat keadaan sekitar yang gelap hingga
akhirnya terjerembab pada kumpulan bambu runcing dan yang tak elak menusuk
perutnya dalam-dalam. Sosok hitam itu berdiri dingin tepat didepannya. Namun Yudi tak kuasa bergerak banyak. Sebatang bambu runcing masih menusuk perutnya.
Mengunci pergerakannya. Mengeluarkan darah yang teramat banyak. Yudi tak bisa
lagi bertahan hingga segalanya berubah menjadi gelap..