Friday, December 2, 2016

Cinnamon

Chapter 1
Intro

   “Hey gadis bodoh ! apa yang kau lakukan dengan membiarkan burung-burung idiot itu memakan apel di depanmu?! Bukankah untuk mengisi perutmu saja kau kesulitan?! Memang orang bodoh tetaplah akan menjadi orang bodoh!!! hahaha.. ”  tiga orang anak laki-laki itu tidak pernah bosan untuk selalu berkomentar tiap pagi. Aneh rasanya kalau tidak ada ocehan dari mereka setiap kali mereka melihatku. Di depan toko roti, di depan jembatan, di depan rumah, dan dimana-mana ketika kami berpapasan. 

     Perkenalkan namaku adalah Cinnamon, kadang hanya dipanggil cinna.  Tahun ini aku akan genap berumur 16 tahun. Aku rasa ini sungguh hitungan yang cukup besar. Dan sebesar itulah orang-orang tahu kalau aku ini gadis bodoh, seperti yang mereka katakan. Aku tidak pernah sekalipun datang ke sekolah. Aku tidak pernah belajar berbagai pelajaran sekolah seperti anak-anak lain pada umumnya. Dan memang aku tidak akan pernah diberi kesempatan untuk itu. 

    Ini adalah kota Nomelion. Dimana sudah sejak lama kalau dikota ini perbedaan antara orang berada dan yang kurang berada sangatlah kontras. seperti halnya pendidikan. Hanya mereka dari keluarga yang berada dan memenuhi syarat saja yang bisa menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan aku. Dalam kategori mereka aku adalah orang-orang yang kurang berada. Aku tumbuh besar bersama seorang wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Pada awalnya aku memang menganggapnya ibuku sebelum akhirnya dia menceritakan semuanya kalau aku hanyalah anak yang dia temukan di dekat tempat sampah. Orang orang golongan atas percaya kalau kemiskinan adalah sebuah kutukan. Sehingga dengan alasan apapun sebisa mungkin mereka tidak boleh terlalu berhubungan dengan orang miskin. Orang-orang miskin hanya akan membuat sebuah kutukan lebih parah. Orang orang miskin adalah mereka yang terlahir dari kutukan sihir. Itu pikir mereka. Sayangnya aku terlalu suka dengan menganalisis sesuatu. Tuhan tidak memberiku otak tumpul meski tidak diberi kesempatan untuk pergi ke sekolah. Kau tau, kalimat yang kedua itu aku agak setuju. Karena aku percaya dengan adanya sihir. Meskipun aku tidak tahu apakah sihir adalah sesuatu yang baik atau buruk. Dan realitanya sekuat apapun orang-orang berada itu menjauhi orang-orang tak berada, manusia tetap saja akan saling membutuhkan. Naif sekali.

    Antara kenyataan, khayalan, kekeliruan, atau apalah itu namanya. Aku pernah satu kali menangkap basah orang-orang yang sedang mempraktikan sihirnya. Sangat ajaib. Kulihat waktu itu paman Eldior si penjual permen keliling pernah mengubah warna labu yang hijau seketika menjadi orange dengan diam-diam, bibi Elma yang suka menjahitkan pakaian untukku menjatuhkan sebuah apel dari tangkainya hanya dengan mengedipkan mata. Dan yang mengejutkan adalah ibuku pernah berbicara dengan bunga. Mungkin ide untuk berbicara dengan bunga dapat dilakukan semua orang. Bertingkah gila dengan berbicara sendiri di depan bunga. Tapi ini lain. Waktu itu ibuku berbicara dengan setangkai bunga lily. Seperti meminta sesuatu dan bunga lily itu memberikan apa yang ibu mau. Bunga lily menundukan mahkota bunganya dan mengucurkan seperti satu sendok madu atau cairan aneh. Aku yang sedang demam hanya menengok sedikit dari kepura puraan tidurku. Dan setelah itu aku sadar bahwa aku hidup diantara sihir-sihir yang tidak pernah diketahui keberadaannya. Padahal kalau kupikir, sihir pasti akan bisa merubah hidup seseorang. Tapi nyatanya tidak ada perubahan-perubahan yang terlihat nyata bahkan pembicaraan tentang sihir itu sendiri adalah sebuah ketabuan. Aku sangat tertarik tapi aku tidak pernah berani untuk menanyakannya. Lagipula kejadian-kejadian itu sangat jarang aku temui. Bahkan hanya sekali waktu saja. Pernah aku sengaja memperhatikan ibuku seharian dan semalaman tapi dia tak pernah melakukan sesuatu yang aku pikir ada hubungannya dengan sihir. Atau bahkan berbicara dengan bunga lily untuk yang kedua kalinya.

0 comments:

Post a Comment