Thursday, January 5, 2017

Scorcer






Senja kini tak lagi sama. Harapan yang terus kau pupuk dari jauh hari harus lenyap hanya dari beberapa kalimat.Angan yang membuatmu tersenyum bahagia, harus berputar 180 derajat dalam senyuman palsu yang terus menyayat dari dalam. Manusia itu memang perasa. Dan kehendaknya memang tak bisa dipaksakan. Apa yang diharapkan A tidak selalu berakhir A, bisa B, bisa K, bisa O, bisa Z sekalipun. Tapi kesunyian juga merupakan pilihan. Tanpanya kamu tak kan pernah tau betapa hangatnya keramaian. Hal-hal yang tak pernah kita syukuri sebelumnya. 
Dingin itu terlalu lama. Sampai-sampai bekunya membuat hati ini seperti batu. Sebanyak apapun goresan tak akan pernah membuatmu goyah. Mungkin kau berpikir cukup kuat. Tapi dengan satu hantaman maka kaupun tinggal menunggu waktu untuk lebur. Menghilang, dan melupakan segala kesia-siaan yang selama ini kau tanam.
Aku lihat sebelah capit itu dibalik bebatuan sungai yang berlumut. Kemudian sepasang mata kecil mengintip diantara celah kedua batu. Mungkin dia malu untuk bertemu denganku, mungkin dia sedang menunggu temannya, mungkin dia takut, atau mungkin dia benci denganku. Aku yang tak bisa berjalan bersamanya beriringan. Menyusuri sungai dan batu-batu kerikil berpasir. Aku tau, meski kita punya capit yang sama, tapi apa yang ada padaku tidak lebih dari sekedar racun yang ganas. Lagipula aku memang tak akan bisa mengikutinya. Aku tak bisa berenang kalau tiba-tiba air sungai menyeretku. Aku hanya akan menjadi beban baginya. Dan apa yang lebih buruk daripada menjadi beban bagi yang lain? Lebih baik untuk kembali kedalam lubang yang gelap gulita. Berharap sekali lagi cahaya menerobos masuk kedalamnya. Membawa kehangatan dan warna yang baru. Karena siklus itu memang berputar. Keyakinanlah yang menjalankannya.