Friday, May 4, 2018

Urar

🐍  🐍  🐍  🐍

Aku hanyalah anak desa biasa. Namaku Urar, sedikit perbedaan huruf menyebabkan anak-anak yang lain sering meledeku dengan sebutan ular. Rasanya sudah tidak asing lagi dengan sebutan urar si manusia ular. Terlebih kulitku yang berwarna gelap dan kering terkena panas seringkali mengelupas dibeberapa bagian layaknya ular yang berganti kulit. 

Setiap ada yang meledekku, aku selalu benci dengan namaku sendiri. Aku kadang kesal dengan mendiang kedua orang tuaku yang memberikan nama aneh ini.  Sehingga akhirnya aku pasti merengek pada nenek untuk mengganti namaku. Tapi nenek selalu bilang kalau namaku itu unik. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ular yang sering diejek orang-orang. Entah darimana juga orang tuaku mendapatkan nama ini, yang jelas nenek berkata bahwa namaku berarti “Watchmaker/pembuat jam”. Nenek juga selalu bilang kalau dengan nama ini aku berarti akan menjadi orang hebat. Pembuat jam adalah orang yang mengerti tentang waktu. Waktu adalah raja yang mengendalikan manusia. Ketika kita bisa mengendalikan waktu, kita akan benar-benar bisa memanfaatkan hidup kita dengan baik. Penjelasan nenek membuat kepercayaan diriku tumbuh. Meskipun setiap kali ada yang meledekku, aku kembali muram. Dan terus naik turun seperti itu.

Pada hari itu, setelah pulang sekolah, aku membuat sebuah perahu kertas untuk kumainkan di selokan kecil dekat rumahku. Terlihat dua orang anak sekelasku yang kebetulan tetanggaku juga mengikuti dengan membuat perahu kertas juga. Aku tak terlalu mempedulikan tingkah mereka yang mengikutiku. Sesampainya di selokan dekat rumah, langsung saja kudaratkan perahu kertasku diatas air. Tak lama, aku terkaget ketika anak-anak itu tiba-tiba saja berteriak mengejekku dengan sebutan yang tak asing. “Ular!”. Ya, ejekan seperti biasa. Dan sudah kuanggap angin belaka. Aku tak peduli dan terus mengawasi perahu kertasku. Tapi teriakan mereka semakin kencang. “ULAR ! ULAR !” akupun kesal, berniat untuk memelototkan mataku. Aku menoleh dan bersiap untuk sekedar memberikan ekspresi sebal. Tapi yang kudapati adalah ketakutan yang membuat sekujur tubuhku kaku dan kaget seketika. Aku mendapati seekor ular kobra sungguhan yang menegakan kepalanya tepat menghadap wajahku. Seakan-akan siap untuk menyerang. Mata kami bertatapan dalam bisu. Kedua anak yang teriak tadi sudah kabur entah kemana. Aku bergerak sedikit. Berniat untuk kabur secepat mungkin. Tapi gerakan ular itu sangat cepat menyerangku. Refleks, untungnya masih bisa kuhindari. Dengan ketakuan dan keberanian, spontan saja ku tendang kepala ular itu sampai dia terpental. Dan akupun langsung lari terbirit-birit.

Ketakutan kini menghantuiku. Entah kenapa sejak kejadian itu aku selalu berpikiran tentang ular. Dimanapun aku berada, selalu ku waspadai tentang keberadaan ular, ular dan ular. Aku takut dan terlalu cemas sampai-sampai tak pernah lagi memakai ikat pinggang. Kadang itu terlihat seperti ular pikirku. Ketakutan ini juga membuatku kesal. Aku terlanjur kesal dengan hewan yang namanya ular yang selalu menghantui pikiranku.

Minggu pagi itu, aku pergi kembali ke selokan dekat rumahku. Bukan membawa perahu kertas, melainkan membawa sebilah tongkat bambu. Aku berniat untuk mencari ular. Menghadapi ketakutanku sendiri. Kucari di semak-semak sepanjang selokan. Dan munculah beberapa ular air yang tak berbisa. Entahlah, aku tak takut sama sekali. Aku tersenyum, menyeringai, dan mulai menghantam ular-ular itu dengan tongkat bambu. Ya. Aku menghabisi nyawa mereka. Ular yang tak bersalah. Tapi aku tak berhenti. Aku terus  mencari lagi di sepanjang selokan itu. Lagi, lagi dan lagi kutemukan ular. Kulakukan hal yang sama. Kubantai mereka semua. Terlihat air selokan sedikit berubah warna merah darah. Aku benar-benar merasa bersemangat dalam kegilaan. Tapi aku belum menemukan ular kobra yang waktu itu. Aku akan menunggu sampai bisa membunuhnya.

Ejekan kata-kata “ular” yang dilontarkan orang-orang sudah mulai tak bisa ku acuhkan. Anehnya ketakutanku dengan ular malah membuat emosi dan adrenalinku naik. Aku yang biasanya diam mendengar ejekan mereka, kini tak lagi sama. Selalu ku ambil barang apapun yang ada disana dan sontak melemparkannya, menyerang orang-orang yang mengejeku tanpa ampun bahkan sampai berdarah-darah. Sadis. Tak ada yang berani melawan. Aku tidak tau kenapa aku bisa kuat melawan mereka. Ya, aku seperti gila. Seperti kesurupan samson yang bengis. Semenjak aku menjadi seperti itu, tak ada lagi yang berani mengejekku dengan sebutan ular. Pandangan orang-orang terlihat takut saat kutatap mata mereka.

Dalam kesepian, kadang aku berpikir mungkinkah kebencian ular-ular yang mati terhadapku malah jadi kekuatan dalam diriku? Aku tau, ular-ular yang mati tak bersalah itu pasti menyimpan dendam terhadapku. Kadang mereka muncul dalam mimpi-mimpiku, seperti membalas perlakuanku terhadap mereka. Tapi aku terlanjur kuat. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku melawan dan masih bisa membantai mereka. Sampai aku berteriak untuk menantang raja diantara ular-ular itu. Dan ketika ku terbangun, aku sadar kalau aku terlalu berlebihan. 

Sepertinya mimpi bukanlah sekedar mimpi. Semenjak kata-kataku dalam mimpi yang menantang raja dintara ular-ular itu, aku selalu mendapati ular-ular yang melintas di depan jalanku. Selalu tinggal ekornya saja yang ku lihat. Seperti memberikan pesan “hati-hati dengan ucapanmu nak”. Kadang aku juga sering mendengar desis-an mereka dimana-mana walau wujudnya tak pernah terlihat. Aku juga heran terkadang aku mengerti apa arti desisan ular-ular tak berwujud yang ku dengar. Memang bukan kalimat kebencian yang kudengar, malah aku mendengar seakan-akan mereka senang dengan kehadiranku. Ini benar-benar gila. Ku buka pintu rumahku dan serasa ingin melepas semuanya. Aku berlari dengan kecang dan tiba-tiba tersungkur ke semak-semak. Kudapati ekor ular yang sangat besar, kuamati ekor itu begitu panjang dan mengerikan. Terus kuamati ekor itu demi mengetahui bagaimana hulunya. Tapi mataku terbelalak kala ku tahu ekor itu adalah ekorku.

0 comments:

Post a Comment